Minggu, 24 November 2024

8 Seniman Indonesia dan Amerika Residensi di Tiongkok

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Satu diantara karya yang dibuat Djuaidi Kenyut seniman asal Indonesia kelahiran Surabaya saat residensi di Tiongkok. Foto: Istimewa

Program residensi seniman di desa Qian Yang, Tiongkok adalah program yang diselenggarakan oleh kurator Prof Zhang Yong tinggal di Shanghai dan Zhao Yonggang tinggal di Bali.

Program residensi ini terbuka dan boleh diikuti oleh siapa saja yang berminat untuk membuat karya-karya di luar ruangan atau outdoor dengan menggunakan material Bambu seperti yang banyak ditemukan didesa Qian Yang.

Dari sekitar 15 proposal desain karya yang masuk dengan berbagai profesi (arsitek, pematung, pelukis dan musisi), diseleksi kembali oleh pihak tim dan pejabat pemerintah setempat, dan akhirnya 8 seniman terpilih berangkat melakukan residensi selama sebulan penuh di Tiongkok.

Ke 8 seniman tersebut adalah: Anas Etan dari Bojonegoro, Djunaidi Kenyut dari Surabaya, I Putu Aan Juniartha, I Wayan Sudarna Putara (Nano), I Made Suartama (Bijal), Nyoman Suyadnya, Rio Saren mereka berlima dari Bali dan Jennifer Parker dari Amerika Serikat. Mereka terpilih mengikuti residensi di Tiongkok tersebut.

“Hari pertama kami datang langsung diajak berkeliling desa dan juga bertatap muka dengan para pejabat pemerintah dan warga desa. Desa ini penduduknya hanya sekitar 30 orang dan usianya sudah diatas 50 tahun,” terang Djunaidi Kenyut.

Desa Qianyang adalah desa yang terletak di puncak pegunungan, terpencil. Dua tahun lalu pemerintah membuat jalan hanya untuk menuju desa tersebut, jalan dengan sistem cor semen dengan lebar sekitar 6 meter dibuat dengan memotong bahu gunung.

“Anak-anak muda memilih bekerja dan tinggal dikota karena secara ekonomi lebih menjanjikan daripada menjadi petani. Desa Qianyang adalah desa tua, rata-rata bangunanannya menggunakan tanah liat dicampur pecahan genteng dan keramik dengan tulang bambu ditengahnya untuk bagian dinding, lantainya masih berupa tanah,” kata Djunaidi.

Bangunan lainnya, lanjut Djunaidi menggunakan kayu Cemara yang tumbuh bersama Bambu di hutan sekeliling desa. Hanya beberapa bangunan baru saja yang menggunakan batu-bata. Sementara jalanan desa menggunakan batu tebing seperti Granit yang disusun menyesuaikan ukuran batunya.

Proses kreatif dalam membuat karya, di desa Qian Yang sempat terhambat saat terjadi badai topan yang menghantam desa. Praktis para seniman tidak dapat berkreasi secara maksimal, lantaran karya yang dibuat untuk ukuran outdoor.

“Selama satu bulan banyak hal yang bisa dipelajari. Bukan sekedar pindah tempat berkarya. Selain belajar tentang alam, arsitektur lama, desain juga belajar tentang tradisi dan pergaulan dengan masyarakat internasional,” tambah Djunaidi.

Diharapkan akan semakin banyak seniman muda dari berbagai kota di Indonesia yang mengikuti program residensi di desa Qian Yang ini. “Agar seniman Indonesia punya jaringan dan belajar mengenal budaya bangsa lainnya. Ini penting dalam proses kreatif,” pungkas Djunaidi Kenyut pada suarasurabaya.net, Kamis (14/9/2017).(tok)

Teks Foto: Satu diantara karya seniman Indonesia yang mengikuti residensi di desa Qian Yang, Tiongkok.
Foto: Istimewa

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
27o
Kurs