Menjadi perantau di negeri orang merupakan satu di antara pilihan hidup ketika seseorang tidak punya gambaran untuk merubah nasib di negeri sendiri. Niat yang kuat menjadi modal utama untuk memutuskan bekerja di luar negeri. Apalagi beban ekonomi semakin tinggi ketika seseorang itu sudah berkeluarga.
Inilah yang dirasakan dan dilakukan Wahyu Hansudi, 42 tahun, laki-laki asal Blitar Jawa Timur ketika secara tidak sengaja bertemu dengan suarasurabaya.net di Stamford Bridge Stadion dari klub sepak bola Chelsea di London. Saat itu, Wahyu sedang mencari Jersey (kaos Tim pemain) Chelsea di Mega Store klub tersebut untuk rekannya di Indonesia.
“Saya seperti kebanyakan orang Indonesia ekonominya sulit. Kebetulan ada temen yang ngajakin ke UK. Kebetulan ngajakinnya ke UK ya, jadi ikut kesini. Ke sini ya kerja apa sajalah mas, yang penting kerja dimana aja. Intinya kita kerja kan supaya punya penghasilan aja dan survive (bisa hidup),” ujar Wahyu.
Pertama kali di London, Wahyu menjadi tukang cuci piring di restoran, dan tiap tahun mencoba berganti profesi karena profesi sebelumnya dirasa tidak berkembang.
“Dulu pertama kali itu kerja di restoran jadi tukang cuci piring, terus pernah kerja di nasional teater jadi tukang sapu dan bersih-bersih, pernah kerja di delivery pizza, kerja di perusahaan logistik. Mulai kerja di London tahun 2003 dan tiap tahun berganti-ganti pekerjaan. Kita lihat ada oerkembangan atau tidak, kalau tidak kita cari tempat lain. Paling durasi kerja itu di bidang logistik yaitu 6 tahun atau berakhir 2012. Dari kerja di bidang ini jadi tahu rute jalan di Inggris,” kata Wahyu.
Lelaku kalem dan supel ini, kemudian memutuskan menjadi pemandu wisata, yang kemudian berkembang menjadi Event Organizer (Penyusun Kegiatan) kecil-kecilan.
“Dari sini saya lalu memutuskan untuk bekerja sendiri sebagai tour guide di bidang tourism, bahkan boleh dibilang jadi setengah event organizer (EO) untuk orang Indonesia yang cari sekolah, bisnis, liburan atau nonton bola di Inggris,” kata dia.
Lima tahun setelah bekerja, Wahyu kemudian memutuskan untuk mengajak istrinya ikut tinggal di London.
“Saya menikah sebelum berangkat dan istri ikut ke London lima tahun kemudian, dengan status melanjutkan sekolah S2 pakai biaya sendiri, sehingga kita cari biayanya sampai berdarah-darah istilahnya (bekerja sangat ekstra).” ujar Wahyu.
“Kita masih kontrak. Dulu awal-awalnya kesini baru bisa sewa kamar seperti anak kost. Per bulan 400 pounds (hampir Rp8 juta dengan kurs Rp19 ribu). Begitu punya anak kita langsung putuskan sewa rumah dengan 3 kamar 1800 Pounds per bulan (lebih Rp30 juta dengan kurs Rp17 ribu),” kata dia.
Ketika ditanya apakah ada rencana balik Indonesia, Wahyu mengatakan belum tahu, karena belum bisa memastikan soal kemapanan di Indonesia. Tetapi, saat ini, dia sedang mencoba bisnis dengan teman-teman dan saudaranya di Indonesia.
“Belum tahu mas, kita mengalir aja. Sekarang ingin coba bisnis kecil-kecilan di Indonesia dengan teman-teman disana. Sementara ada resto di Bangka Belitung dengan menu khas orang disitu, jadi kita tonjolkan kearifan lokal. Akan melibatkan masyarakat lokal karena 60 persen bahan bakunya Ubi. Sehingga kita juga akan menbuat perkebunan Ubi. Kita memilih kafe atau resto karena merupakan tempat berkumpul atau diskusi dan fast moving. Ke depannya bukan fungsi sebagai resto saja sebagai tempat berkumpul, makan lalu pergi. Tetapi kita akan bikin komunitas, diantaranya adalah komunitas membaca dan menulis. Jadi dalam kafe itu nanti setiap minggu akan ada workshop bagaimana membuat sebuah penulisan,” kata Wahyu.
Tidak berhenti di Bangka Belitung, Wahyu juga merencanakan bisnis lainnya berupa peternakan di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan bengkel mobil di Surabaya.
“Yang NTB rencananya peternakan kambing Etawa yang melibatkan masyarakat lokal. Yang di Surabaya akan membuka bengkel mobil, karena kita punya resource atau sumber daya di Surabaya. Kebetulan ada saudara kita yang sudah 16 tahun punya keahlian di bidang itu. Kita berharap bengkel ini nanti juga bisa digunakan untuk workshop dan magang minimal untuk anak-anak yatim atau tidak mampu untuk mengasah keahlian di bidang otomotif,” ujar Wahyu.
Bicara soal kiat bekerjanya, menurut Wahyu, sebenarnya sama saja di mana-mana yaitu harus gigih dan tidak patah semangat. Bahkan Wahyu melihat peluang membuka bisnis di Indonesia itu saat ini lebih besar dan mudah.
“Kiat bekerja di luar negeri sebenarnya sama semua yaitu motivasi atau niat semua. Memang untuk berhasil perlu kerja keras, tidak berlaku disini saja tetapi juga di Indonesia. Bahkan saya melihat peluang bekerja di Indonesia sekarang itu lebih besar atau mudah. Apapun yang dibikin di Indonesia itu bisa yang penting bagaimana bisa membaca peluang. Apalagi ada 260 juta penduduk Indonesia. Yang penting jangan hanya berpikir di Jawa saja tetapi harus ke luar pulau Jawa di mana masih banyak potensi yang bisa dikembangkan,” kata Wahyu yang kini sudah punya mobil minibus untuk mengantar tamu-tamunya.(faz/iss)