Penemuan 13 jenazah tenaga kerja ilegal asal Indonesia yang kapalnya tenggelam di perairan Malaysia mengingatkan kembali jalur gelap yang menghubungkan daratan Malaysia dan Indonesia.
Seperti tidak tersentuh oleh aparat Malaysia, para pekerja ilegal Indonesia diyakini menggunakan “pelabuhan-pelabuhan kecil” di sepanjang daratan Malaysia sebagai pintu keluar untuk kembali ke daratan Sumatra.
“Di sepanjang pantai Malaysia yang berhadapan dengan Sumatra, itulah jalur yang digunakan,” kata Khairuddin Harahap, warga Indonesia yang telah menetap di Malaysia lebih dari 30 tahun kepada BBC Indonesia, Selasa (26/1/2016).
Menetap di Malaysia sejak awal tahun 1980-an, Khairudin juga dikenal sebagai pimpinan sebuah LSM bernama Lembaga Pengkajian Masalah Pekerja Indonesia di Malaysia.
Di pelabuhan-pelabuhan kecil itulah, menurutnya, kapal-kapal kayu dari Sumatra itu membawa kayu atau kepala untuk dijual di Malaysia –tanpa dokumen resmi.
“Ini jalur barter trade. Ini terjadi setiap hari, setiap pekan. Ketika selesai dan mau balik ke Indonesia, kapal ini kosong. Nah, pemilik kapal yang nakal akan menawarkan kepada TKI ilegal untuk pulang ke Indonesia,” ungkap Khairudin.
Jalur perdagangan Malaysia-Sumatra melalui pelabuhan-pelabuhan kecil ini sudah berlangsung lama. “Ini jalur tradisional,” ungkapnya.
Ditanya apakah aparat Malaysia membiarkan praktik seperti ini, Khairuddin menjawab: “Barter trade seperti ini untuk Indonesia tidak dibenarkan, tapi di Malaysia dibiarkan”.
“Petugas (di Malaysia), barangkali tidak menyangka ada penumpang TKI ilegal,” imbuhnya.
Namun demikian, dia cepat-cepat menambahkan, “Jumlah kapalnya berpuluh-puluh, jadi susah mendeteksi mana yang bawa orang.”
“Mereka melewati jalur tikus itu juga pasti melibatkan banyak pihak, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Kemudian dokumen-dokumen yang beredar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Itu terlalu rumit,” kata Marsianda.
Selama ini jalur kepulangan bagi TKI secara ilegal ini “aman-aman saja”. “Mungkin karena laut saat ini bergelora. Mungkin nasib lagi sial saja (yang menyebabkan kapal tenggelam).”
Ditanya kebanyakan para TKI ilegal itu “berlabuh” di pelabuhan mana, Khairuddin mengatakan, kebanyakan mereka turun di Tanjung Pinang (Provinsi Kepulauan Riau) atau Tanjung Balai (Provinsi Sumatra Utara). “Itu jalur yang paling dekat,” katanya.
Dari Malaysia, Khairuddin hanya berkata, mereka menggunakan “pintu” yang “tidak diwartakan”. Dia tidak menyebut nama kota pelabuhannya. “Karena barang-barang itu kadang-kadang tidak melalui pintu yang diketahui wartawan.”
Berangkat Sebagai Pelancong
Sementara itu, Konsulat Jenderal RI di Johor Baru mengatakan, pihaknya telah mengirim dua orang anggota satgas perlindungan untuk mengikuti proses evakuasi 13 jenazah.
Ditanya kenapa kejadian ini terus berulang, staf KJRI di Johor Baru, Marsianda mengatakan: “Banyak faktor”.
“Mereka melewati jalur tikus itu juga pasti melibatkan banyak pihak, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Kemudian dokumen-dokumen yang beredar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Itu terlalu rumit,” kata Marsianda.
Usaha pengawasan, tambahnya, pasti ada. “Setiap instansi terkait pasti berusaha untuk meminimalisir. Tetapi karena jumlah (migran ilegal) terlalu besar dan titik rawannya terlalu banyak, jadi selalu bisa ditembus oleh mereka”.
Adapun menurut Khairuddin, jalur tikus dari Indonesia ke Malaysia, kini jarang digunakan.
“Itu ketinggalan zaman,” jawaban ini keluar dari mulut Khairuddin ketika saya bertanya: dari pelabuhan mana para pekerja Indonesia ilegal itu masuk Malaysia.
“Trend sekarang,” ungkapnya, “mereka masuk Malaysia pakai paspor. Jadi bukan gelap seperti dulu, itu sudah ketinggalan zaman.”
Dengan kata lain, mereka datang ke Malaysia sebagai turis dengan izin tinggal selama 30 hari — tanpa izin kerja. “Begitu visa habis, mereka tidak balik ke Indonesia”.
“Mereka mencari kerjaan sampai dua atau tiga tahun, baru balik ke Indonesia secara gelap,” jelasnya.
Khairuddin mengatakan, saat pemerintah Malaysia menggelar kebijakan pengampunan kepada TKI ilegal, jalur “gelap” sempat dijauhi.
Namun demikian, menurutnya, kebiasaan lama terulang kembali ketika kebijakan itu berakhir.
Saat ini para TKI ilegal yang mau kembali ke Indonesia harus membayar 3.100 ringgit Malaysia ke kantor keimigrasian negara itu.
“Sementara, kalau balik dengan jalur gelap, mereka harus mengeluarkan sekitar 500 sampai 800 ringgit.”
“Nah, terpaksa mereka tempuh (jalur gelap) itu, karena bayarnya agak lebih murah, antara 500 dan 800 ringgit,” paparnya.
Ditanya apakah mustahil aparat Malaysia tidak mengetahui praktik seperti, Khairuddin mengatakan, “Sudah mau mengatakan bahwa apakah mereka terlibat atau tidak…” ujarnya. (bbc/ipg)