Minggu, 24 November 2024

Sulit Kontrol Peserta Mandiri, BPJS Akan Terapkan Mekanisme Sanksi

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi

Nurinda Mahyarani Kepala Unit Hukum, Komunikasi Publik, dan Kepatuhan BPJS Kesehatan Kantor Cabang Utama Surabaya mengaku kesulitan mengontrol peserta BPJS Mandiri.

“Keinginan mereka untuk membayar itu rendah. Kami agak kesulitan menagih, karena tidak semua punya HP dan email,” ujarnya kepada wartawan di kantornya, Rabu (16/3/2016).

Upaya penagihan dengan cara SMS Blast sudah dilakukan. Perempuan yang biasa dipanggil Rinda ini juga mengatakan, sudah ada upaya kerjasama dengan kejaksaan.

“Tapi belum terumus sampai ke sana,” katanya.

Karena itu, berdasarkan Perpres 19/2016 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS akan menerapkan mekanisme denda dan sanksi terhadap peserta yang menunggak pembayaran.

“Berupa penghentian akses BPJS, kalau peserta tidak membayar tagihan satu bulan,” katanya.

Sanksi ini sebelumnya sudah diterapkan, namun batasnya adalah 6 bulan tunggakan.

Tidak hanya pencabutan akses, BPJS juga akan menerapkan denda bagi peserta penunggak iuran yang langsung menjalani pelayanan rawat inap setelah membayar tunggakan.

“Dendanya 2,5 persen dari biaya pelayanan rawat inap, dikali jumlah bulan dia menunggak, dengan batas maksimal tunggakan 1 tahun,” ujarnya.

Penerapan sanksi dan denda ini, menurut Rinda, akan mulai berlaku mulai Juli 2016 yang akan datang, pasca kenaikan iuran BPJS Kesehatan Mandiri pada April nanti.

Perlu diketahui, kenaikan premi BPJS Kesehatan ini sudah mulai berlaku sejak Januari 2016 lalu, yakni kenaikan premi bagi peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) menjadi sebesar Rp23 ribu per bulan yang ditanggung pemerintah.

Sedangkan kenaikan premi pada April 2016 nanti berlaku untuk peserta kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta BPJS Mandiri.

“Jadi, kami (BPJS, red) seperti masih diberi waktu oleh pemerintah sebelum menerapkan mekanisme sanksi itu,” katanya.

Bertentangan dengan Rinda, Arif Supriyono, Ketua Advokasi BPJS Watch Jatim mengatakan penerapan sanksi dan denda tersebut sudah di luar konteks Undang-Undang Kesehatan.

“Karena hak sehat itu merupakan hak dari setiap warga negara,” katanya kepada suarasurabaya.net.

Dia mengatakan, yang seharusnya dievaluasi oleh pemerintah dan BPJS Kesehatan adalah jumlah kepesertaan BPJS di Indonesia yang belum merata.

“Dari 42 juta orang Pekerja Penerima Upah (PPU yang terdiri dari PNS, TNI, Polri, DPRD, dan Pegawai Pemerintah Non PNS, red), yang sudah menjadi peserta BPJS baru tercatat 7 juta orang,” katanya.

Padahal, menurut Arif, peserta PPU ini merupakan yang diandalkan oleh BPJS dalam hal pendanaan, karena pembayaran iurannya sudah pasti setiap bulannya.

Pendanaan dari iuran peserta PPU ini seharusnya dapat digunakan untuk membantu peserta BPJS Mandiri atau kelompok peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

Arif menyesalkan kebijakan pemerintah melalui Perpres 19/2016 yang menaikkan premi/iuran BPJS Kesehatan bagi peserta BPJS Mandiri.

Sebab alokasi anggaran kesehatan dari APBN belum sesuai UU Kesehatan. Pemerintah hanya mengalokasikan anggaran dari APBN kurang lebih sebesar Rp23 triliun saja, atau kurang dari 5 persen APBN.

“Karena kalau APBN saat ini Rp2000 triliun, lima persennya seharusnya Rp100 triliun,” katanya.

Bila anggaran itu diterapkan oleh pemerintah, menurut Atif, sebenarnya bisa untuk menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia yang jumlahnya 260 juta jiwa. (den/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
31o
Kurs