Tri Rismaharini Walikota Surabaya mengatakan siap menjadi saksi di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang gugatan uji materi Undang-Undang 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah, terutama dalam hal peralihan pengelolaan SMA/SMK.
Sesuai dengan surat panggilan MK, Risma akan bertolak ke gedung MK di Jakarta, Rabu (8/6/2016) besok. Walikota perempuan pertama Surabaya ini mengaku sudah menyaiapkan cerita secara tertulis dan lisan.
“Aku buat cerita tertulis, untuk saya serahkan ke majelis. Aku juga membuat keterangan lisan, tentang kenapa kami ngotot, meminta SMA/SMK tetap dikelola kota. Karena itu riskan sekali,” ujarnya, Selasa (7/6/2016).
Risma mengatakan, saat ini masih banyak anak-anak Surabaya yang tidak sekolah. Pemkot Surabaya, Risma mengklaim, sudah merayu anak-anak itu untuk tetap sekolah.
“Macam-macam kasusnya. Ada yang bekerja untuk membantu orangtuanya. Kita rayu supaya bisa tetap paralel, ya membantu orangtua, ya sekolah,” ujarnya.
Risma mengatakan, tidak ingin ada generasi muda Surabaya putus sekolah hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Saya enggak mau itu. Banyak anak yang cuma lulus SMA atau SMK, pekerjaannya hanya menjadi cleaning service. Saya ingin mereka lebih tinggi,” katanya.
Untuk itulah, Pemkot Surabaya, terutama Risma, bersikeras pengelolaan SMA/SMK di Surabaya harus tetap dikelola Pemkot Surabaya.
Sebab selama ini, Risma mengatakan, Pemkot Surabaya lebih mampu mengelola kedua jenjang sekolah tersebut. Anggaran pendidikan dari APBD Kota Surabaya, khusus untuk pengelolaan SMA dan SMK sebanyak Rp600 miliar.
“Kami itu Rp2,4 triliun khusus untuk pendidikan. Itu cuma SMA/SMK ya. Anggaran Dinas Pendidikan Provinsi cuma Rp400 miliar. Kan tidak mungkin ada perlakuan khusus untuk Surabaya,” ujarnya.
Menurutnya, anak-anak di Surabaya mudah goyah dan mudah putus sekolah. Menurut Risma, dampak ke depan bagi Pemkot justru akan jauh lebih berat.
“Makanya di usia emas anak-anak ini kita ajak sekolah, jangan sampai membebani negara. Karena dampaknya baru terasa 10-15 tahun ke depan,” ujarnya.(den/dwi)