Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menyebut anjloknya harga minyak dunia saat ini hingga ke kisaran US$ 30/barel yang merupakan level terendahnya sejak tahun 2004, akan membuat perusahaan-perusahaan minyak di dunia mengalami kerugian dan terancam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di sektor migas.
Menurut Mudhofir Khamid Presiden KSBSI, anjloknya harga minyak dunia disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain karena kebijakan ekonomi Amerika yang menjaga harga minyak rendah akibat politik luar negerinya di Timur Tengah yang menyebabkan produksi minyak yang berlebihan.
“Hal lain adalah akibat perlambatan perekonomian di China yang membuat minyak semakin over supply dan harga minyak semakin tertekan mengingat negara tersebut merupakan salah satu konsumen minyak terbesar dunia,” ujar Mudhofir di Jakarta, Jumat (29/1/2016).
Lebih lanjut, Mudhofir menjelaskan meskipun saat ini Indonesia tidak lagi menggantungkan pendapatan pada sektor migas sebagai pendapatan utama, akan tetapi anjloknya harga minyak dunia tersebut akan berpengaruh pada industri migas nasional.
Menurut hasil survey yang terbitkan oleh DNV GL, salah satu perusahaan konsultan migas, turunnya harga minyak dunia secara drastis membuat pendapatan dari perusahaan minyak turun drastis, yang menyebabkan perusahaan minyak akan mengambil kebijakan pemangkasan biaya produksi yang berdampak pada timbulnya PHK, pemangkasan biaya investasi dan pemangkasan biaya distribusi.
Berdasarkan kondisi tersebut, pihaknya memperkirakan ada sekitar 300 ribu buruh yang bekerja pada industri migas di Indonesia yang terbagi dalam tiga kelompok berdasarkan hubungan kerjanya yaitu pegawai tetap, pegawai kontrak dan pegawai pada perusahaan subkontraktor, yang terancam mengalami PHK akibat merosotnya harga minyak dunia.
“Tiga kelompok itu akan terancam mengalami PHK besar-besaran akibat merosotnya harga minyak dunia,” kata dia.
Selain itu, kata Mudhofir, dalam laporan terbaru ILO berjudul “World Employment And Social Outlook Report For 2016”, disebutkan bahwa pada tahun 2016 diperkirakan angka pengangguran global akan bertambah 2,3 juta orang dan pada tahun 2017 jumlah pengangguran akan bertambah 1,1 juta. Dengan demikian, total pengangguran secara global pada tahun 2017 mendatang, jika ditambah dengan data pengangguran saat ini, diperkirakan akan mencapai lebih dari 200 juta orang.
“Jumlah pengangguran global tersebut merupakan dampak dari perlambatan ekonomi global pada tahun lalu, khususnya di kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah. Negara berkembang dan negara produsen minyak berpotensi menderita instabilitas sosial seperti pengangguran meningkat,” ujar dia.
Melihat sinyalemen harga minyak dunia yang semakin melemah tersebut dan berdampak pada industri migas nasional, tambah Mudhofir, KSBSI pun meminta kepada pemerintah untuk segera mengantisipasi dan membuat kebijakan yang melindungi buruh yaitu rakyat Indonesia yang bekerja di sektor migas dan juga melindungi pengusaha sebagai penyedia produk energi migas yang menyediakan lapangan kerja.
“Belajar dari situasi perlambatan ekonomi Indonesia pada akhir tahun lalu, pemerintah agar memberikan kebijakan berupa insentif bagi industri migas agar dapat bertahan dalam situasi ini. Dengan berjalannya intensif tersebut, kebijakan untuk menghindari PHK di sektor industri migas dapat berjalan. Semua pihak harus dapat memahami kondisi permasalahan global ini, agar dapat duduk bersama mencari jalan keluar,” kata dia.
Oleh karena itu, menurut Mudhofir, kedepan diharapkan pemerintah dapat bekerja sama dengan serikat buruh untuk membuat suatu konsep pasar tenaga kerja yang direncanakan dan diimplementasikan dengan baik.
“Sehingga Indonesia akan menjadi lebih siap dalam mengantisipasi permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan, baik nasional, regional ataupun yang disebabkan oleh permasalahan global,” ujar Mudhofir.(faz/iss/ipg)