Sabtu, 23 November 2024

Presiden Perlu Mengeluarkan Perppu Atasi Maraknya Hakim Menerima Suap

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
(Dari kiri ke kanan): Arsul Sani, Topane Gayus Lumbun dan Laode Ida. Foto: Faiz Fajaruddin suarasurabaya.net

Banyaknya hakim di daerah dan sampai Sekretaris Mahkamah Agung (Sek-MA) tersangkut suap akhir-akhir ini, maka Presiden perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Ini karena hakim dan MA adalah sebagai garda terdepan dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat. DPR pun siap mendukung terhadap evaluasi dan transparansi kehakiman untuk peradilan yang bersih, dan berwibawa tersebut.

Demikian yang mengemuka dalam dialektika demokrasi “Lembaga Peradilan dalam Pusaran Korupsi” bersama Arsul Sani anggota Komisi III DPR yang juga Sekjen DPP PPP, Topane Gayus Lumbun Hakim Agung MA , dan Laode Ida anggota Ombudsmen di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (26/5/2016).

“Jika Presiden melihat bahwa banyaknya kasus hakim termasuk di MA tersangkut korupsi dan kalau ini dibiarkan bisa melumpuhkan negara, maka Presiden RI bisa menerbitkan Perppu darurat hakim. Sebab, kalau hakim apalagi di MA terlibat korupsi, maka negara ini bisa lumpuh. Apalagi jika korupsi itu sudah mendarah-daging, maka perlu langkah-langkah radikal untuk perbaikan. Berbeda jika legislative yang terlibat korupsi,” ujar Arsul Sani.

Dia mencontohkan reformasi peradilan di Ukraina pasca lepas dari Uni Soviet, di mana sejumlah 5.000 orang, dari 10.270 hakim menjalani tes dan rekrutmen ulang, dan hasilnya mampu mewujudkan peradilan yang bersih dan kuat untuk menyelamatkan negara itu dari korupsi peradilan.

“Untuk Indonesia, saya kira perlu melakukan langkah-langkah radikal tersebut, karena dari sisi kultur dan administrasi masih buruk dan itu seperti gunung es,” ujar dia.

Tapi, untuk perbaikan bobroknya persoalan birokrasi dan administrasi tersebut, kata Arsul, tidak perlu menunggu UU Jabatan Hakim, melainkan cukup Perpres.

“Jika Presiden RI melihat itu sebagai darurat hakim, maka cukup dengan mengeluarkan Perppu,” kata dia.

Sementara Gayus Lumbun mengakui jika peradilan saat ini mengalami gonjang-ganjing (turbulensi) akibat banyak yang terlibat korupsi. Dimana yang terungkap sebanyak 30 hakim dari 340-an hakim yang terlibat dan orperasi ttangkap tangan (OTT) KPK.

“Kondisi ini akibat ada kesalahan pimpinan MA dalam mengelola organisasi kehakiman. Sebanyak 10 pimpinan MA membawahi 300 lebih peradilan di seluruh Indonesia,” kata Gayus.

JP hakim pengadilan tipikor di Kepahiang Bengkulu yang terkena OTT KPK ,kata Gayus, justru sedang dalam promosi untuk dipindahkan ke kota besar, dari daerah asalnya di Bengkulu,. Tim Promosi dan Mutasi (TPM) yang menangani posisi dan jabatan para hakim di daerah tersebut, berarti tidak mempertimbangkan rekam jejak, latarbelakang, prestasi, pengalaman hakim dan sebagainya.

Carut-marut peradilan tersebut, menurut Gayus, juga tercermin dalam pemilihan pimpinan hakim MA. Di mana mayoritas masih mencari aman, opportunis, dan ambisius menjadi pimpinan MA. Jika sebelumnya ada 31-an hakim yang pro reformasi, tapi ketika menjelang pemilihan terus berkurang. Hasilnya, dari 31 hakim pro reformasi tersebut ketika pemilihan tinggal 18 orang. Selain itu dalam pemilihan pimpinan MA selalu melanggar Tatib.

“Misalnya tidak boleh interupsi, dilarang bertanya, dan lain-lain,” ujar mantan anggota Komisi III DPR RI FPDIP itu.(faz/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs