Aksi teror bom rakitan di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur pada Minggu (13/11/2016), diketahui dilakukan Juhanda mantan nara pidana teroris.
Dia terbukti melakukan tindak pidana percobaan peledakan bom di Serpong tahun 2011, lalu dijatuhi hukuman penjara 3 tahun 6 bulan. Kemudian bebas bersyarat tahun 2014.
Atas kasus itu, Komisaris Jenderal Suhardi Alius Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) menyebut, penolakan lingkungan dan keluarga berpotensi membuat mantan napi mengulangi kesalahannya.
“Dinamika sosial seperti penolakan masyarakat dan keluarga adalah faktor yang bisa mendorong mantan teroris kembali lagi kepada jaringannya. Itu yang terjadi pada pelaku bom Samarinda,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (26/11/2016).
Menurut Suhardi, selepas dari penjara, Juhanda tidak diterima oleh keluarga dan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan, istrinya yang tinggal di Sulawesi diungsikan pihak keluarga.
“Karena penolakan itu, dia seperti orang bingung. Dan, opsi yang diambil adalah kembali ke jaringan teroris yang masih mau menerimanya,” tegas mantan Kabareskrim itu.
Walau bekas napi teroris rentan kambuh, Suhardi tetap bersemangat menerapkan program deradikalisasi. Dan, dia menepis anggapan orang kalau program itu gagal.
Seperti diketahui, serangan bom rakitan di Gereja Oikumene, mengakibatkan empat anak-anak menderita luka bakar. Satu di antaranya yaitu Intan Olivia Marbun (2,5 tahun) meninggal dunia setelah mendapat perawatan intensif di rumah sakit. (rid/tit)