Penekanan urbanisasi penting dilakukan di Surabaya. Salah satu tujuannya, untuk mengawasi penduduk pendatang yang berpotensi menimbulkan kerawanan sosial.
Maria Agustin Lurah Mojo Kecamatan Gubeng menyebutkan, kerawanan sosial itu dapat terjadi di rumah kos tempat pendatang bermukim.
Bisa saja ada pasangan tinggal seatap di rumah kos tanpa hubungan pernikahan. Atau kemungkinan merebaknya paham radikal dari warga pendatang yang menyebabkan ancaman teror seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan.
Masalahnya, Pemkot Surabaya ternyata tidak memiliki data jumlah rumah kos di Surabaya. Maria Agustin mengakui hal ini karena lemahnya koordinasi antara pemilik kost dengan RT dan RW setempat.
Suhardi Ketua RT 9 di lingkungan RW 12 Kelurahan Mojo mengatakan, ada lima pemilik rumah kos di wilayah tempat tinggalnya.
Dia mengaku sudah melaporkan hal ini setiap bulannya kepada RW dalam rapat bulanan. Hanya saja, dia mengakui kesulitan memantau penghuni kos.
“Masalahnya, pemilik rumah ini mbeling. Padahal kami sudah sering memberitahu tuan rumah untuk melapor kalau ada penghuni baru, tetap saja ndlewer,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Selasa (12/7/2016).
Sunardi Ketua RT 8 di lingkungan RW yang sama mengatakan, perubahan sistem pengurusan Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) membuat Ketua RT sudah tidak lagi terlalu berperan.
“Sekitar 2014 lalu kalau enggak salah, saya masih sering mengumpulkan identitas dan menguruskan SKTS secara kolektif. Sekarang kan penghuni harus mengurus sendiri-sendiri,” katanya.
Sistem baru ini, kata Sunardi, memang memudahkan pekerjaan Ketua RT. Namun, akibatnya, pengawasan warga pendatang semakin surut.
Suhardi dan Sunardi dua Ketua RT yang turut dalam operasi Yustisi di Jojoran Baru Selasa pagi kompak mengatakan, data rumah kos di masing-masing lingkungan yang mereka pimpin selama ini tetap.
Di RT 9 RW 12 wilayah yang dipimpin Sunardi, bertahun-tahun jumlahnya tetap delapan rumah kost. Sedangkan penghuninya diperkirakan mencapai 150 orang.
“Soal jumlah rumah kost ini tetap. RW juga pegang datanya,” ujar Sunardi.
Tidak adanya data rumah kos di Surabaya ini dibenarkan oleh Arief Budiarto Kepala Bidang Perencanaan dan Perkembangan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya.
Pendataan rumah kos, kata Arief, bukan merupakan wewenang Dispendukcapil. Justru Bagian Pemerintahan Pemkot Surabaya yang seharusnya mencatat jumlah rumah kos ini.
“Karena Bagian Pemerintah langsung berkomunikasi dengan kecamatan, kelurahan, dan data-data dari RT dan RW itu pasti ada di sana,” ujar Arief.
Namun, Eddy Christijanto Kepala Bagian Pemerintahan dan Otonomi Daerah Pemkot Surabaya mengatakan data rumah kost itu belum teradministrasi.
“Sebenarnya data itu sudah ada tapi tidak teradministrasikan. Karena itu, Ibu (Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya) meminta segera mengumpulkan data ini,” ujarnya.
Keputusan pengumpulan data rumah kos di Surabaya ini berawal dari kecemasan akibat peristiwa penangkapan teroris di rumah kos daerah Lebak Timur, Kenjeran, bebeberapa waktu lalu.
Caranya, antara Dispendukcapil, Bagian Pemerintahan, dan Dinas Komunikasi dan Informatika Surabaya melakukan kerjasama untuk membuat aplikasi mobile data rumah kos di Surabaya.
“Pihak kelurahan nanti bisa menginput data pemilik kos dan kontrakan. Ini sebagai antisipasi pendatang yang membahayakan seperti di Kenjeran, kemarin,” katanya.
Namun mobile aplikasi tersebut saat ini masih sedang dalam tahap pembicaraan. Baik Eddy maupun Arief tidak menyebutkan target, kapan mobile aplikasi itu bisa digunakan.(den/ipg)