Meski telah ditolak oleh DPRD Kota Surabaya dalam pengajuan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) 2016, Pemkot Surabaya tetap memasukkan anggaran pembebasan lahan buffer zone (kawasan penyangga) TPA Benowo dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Surabaya 2017.
Hendro Gunawan Sekretaris Daerah Kota Surabaya mengatakan, sesuai kontrak atau perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT), pembangunan kawasan penyangga TPA menjadi tanggungjawab PT Sumber Organik (PT SO)sebagai pengelola pembangkit listrik tenaga sampah Benowo.
“Sudah ada. Di kontrak ada, dan mereka wajib menanam (buffer zone) sejak operasional. Tapi kalau anda lihat di RTRW (rencana tata ruang wilayah Kota Surabaya), ada yang namanya area buffer zone,” katanya, Jumat (25/11/2016).
Pemkot bersikeras membangun buffer zone tambahan di luar yang dibangun oleh PT SO untuk menangkal bau tidak sedap akibat pengolahan sampah.
Selain itu, Hendro menjelaskan, buffer zone yang diinginkan oleh Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya juga berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dan taman rekreasi.
“Supaya kalau ada angin, baunya enggak menyebar. Selain itu juga jadi taman rekreasi, supaya kesan kumuhnya hilang,” ujar Hendro.
Hendro mengatakan, Pemkot menargetkan kawasan penyangga dan taman rekreasi di sekitar TPA Benowo selesai dibangun setelah dua tahun anggaran. Pembebasan lahan, rencananya berlangsung mulai awal 2017 mendatang.
Pada PAK 2016 lalu, Pemkot Surabaya telah mengajukan anggaran sekitar Rp135 miliar untuk buffer zone ini. Tapi pengajuan ini ditolak oleh DPRD Kota Surabaya karena dinilai terlalu mahal dan tidak efisien.
Pada Rancangan APBD 2017 ini, Pemkot kembali memasukkan anggaran untuk pembebasan lahan buffer zone, masuk dalam anggaran pembebasan lahan RTH. Total anggaran RTH ini mencapai Rp104 miliar.
Hendro Gunawan menyebutkan, anggaran khusus untuk pembebasan lahan dari total anggaran untuk RTH itu sebesar Rp35 miliar.
Vinsensius Awey Anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya mengatakan, dia tetap keberatan dengan anggaran pembangunan buffer zone oleh Pemkot Surabaya ini, meski mengakui bahwa sebenarnya tidak ada masalah bila Pemkot bersikeras tetap membangunnya.
“Karena memang sudah ada di RTRW. Juga sudah memenuhi beberapa aturan yang ada. Hanya saja, kalau sesuai kontrak, seharusnya kewajibannya PT SO sebagai pengelola,” ujarnya.
Selain alasan itu, Awey menilai bahwa biaya pembebasan lahan buffer zone ini terlalu besar. Terutama karena nilai appraisal (taksiran) harga tanah di lokasi TPA Benowo yang terlalu mahal.
“Logikanya, itu lahan sudah masuk ke RTRW sebagai kawasan RTH. Dan itu lahan dekat TPA. Siapa yang mau beli? Masa harga per meternya lebih dari Rp1 juta?” katanya.
Awey menyarankan agar Pemkot Surabaya mengkaji ulang klausul-klausul dalam kontrak BOT dengan PT SO sebagai pengelola TPA Benowo. Dia berharap kedua pihak duduk bersama membahas hal ini.
“Yang saya khawatirkan, kesan yang akan ditangkap oleh masyarakat. Bahwa Pemkot membantu membangun buffer zone dengan biaya APBD, padahal itu kewajibannya PT SO,” ujarnya.
Selain itu, Anggota Badan Anggaran DPRD Kota Surabaya ini juga mengatakan, Pemkot seharusnya melakukan intervensi dalam hal harga jual tanah di lokasi TPA, sehingga harganya bisa ditekan.
“Jangan sampai kehilangan taring lah. Karena secara itung-itungan nilai ekonomis, lahan untuk buffer zone TPA dengan harga segitu, saya kira sangat tidak efisien. Kecuali kalau Pemkot membangun perumahan di sana, atau rusunami. Masih ada nilai ekonomisnya,” katanya.(den/ipg)