Sabtu, 30 November 2024

Pemerintah Didesak Ambil Alih Pengendalian Narkoba

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Ilustrasi.

Amandemen Undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika rencannya akan segera dilakukan wakil rakyat di parlemen. Perubahan undang-undang ini sudah dilakukan yang ke empat kalinya sejak dikeluarkan.

Ada kekhawatiran amandemen kali ini tidak mengubah secara substansial terhadap penanganan Narkotika di Indonesia. Seperti definisi pengguna, pengedar, dan bandar “sengaja” dikaburkan. “UU No 35 Tahun 2009 terjadi pengkaburan pengertian pecandu, pengguna, pengedar, dan bandar yang terdapat mulai pasal 111 sampai 148. Disamping itu juga UU tersebut porsinya tidak imbang antara pencegahan dengan pemberantasan yang dilakukan oleh BNN,” kata Tri Irawanda, Konsultan Media dan Data Rumah Cemara, Jumat (13/8/2016).

Irawanda mencontohkan, saat ini BNN lebih banyak melakukan pemberantasan ketimbang pencegahan. Bahkan untuk pemberantasan, anggaran yang dimiliki BNN mencapai Rp1 triliun. “Sementara untuk pencegahan hanya di kisaran miliaran saja,” katanya.

Sementara itu Ikke Sartika, koordinator Empowerment Justice Action (EJA) mengatakan pada tataran implementasi, semua produk UU di Indonesia memiliki banyak celah yang bisa dimanfaat untuk kepentingan diri sendiri, terutama berkaitan dengan pemidanaan terhadap pecandu, pengedar, maupun bandar.

“Seorang bandar bisa menjadi pecandu. Begitu juga sebaliknya seorang pecandu bisa dijerat pasal bandar. Pengubahan pasal pemidanaan ini tergantung berapa jumlah yang dimiliki keluarga tersangka atau terdakwa. Makanya dalam penelitian kita terhadap perkara Narkotika mayoritas keluarga tersangka atau terpidana mengeluarkan cukup banyak uang,” katanya.

Sementara itu, Patri Handoyo Koordinator Rumah Cemara, mengatakan, lebih dari 40 tahun Indonesia memerangi peredaran gelap Narkotika tidak membuahkan hasil. Bahkan dengan jargon maupun slogan-slogan yang disebarkan kepada masyarakat umum justru tidak membuat peredaran gelap Narkotika di Indonesia surut.

“Justru spanduk atau poster-poster yang disebarkan BNN yang isinya terkesan menakut-nakuti itu justru malah membuat masyarakat penasaran. Artinya kampanye-kamapanye yang dilakukan BNN atau pemerintah tidak efektif,” kata dia.

Penulis buku “War On Drugs” ini menawarkan solusi yang cukup baik yakni pemerintah mengambil alih dalam mengendalikan narkotika, seperti pemerintah melegalkan peredaran rokok. Tentunya legalisasi ini harus disertakan regulasi-regulasi yang ketat. Artinya tidak semua orang bisa mengakses narkotika yang disediakan pemerintah.

“Contoh yang selama ini terjadi adalah penerapan metadon. Metadon itu juga bagian dari Narkotika yang berfungsi sebagai subtitusi pengganti yang tujuan untuk mencegah penularan HIV melalui jarum suntik. Metadon ini dikonsumsi oleh pecandu narkoba suntik. Nah kehadiran metadon ini ternyata tidak ada yang menjual secara bebas di pasaran. Hanya layanan kesehatan yang boleh memegang kendalinya,” katanya.

Rudhy Wedhasmara, advokat spesialis kasus Narkotika di Surabaya mengungkapkan pemberantaran dan pengendalian Narkotika yang saat ini gencar dilakukan pemerintah malah menyuburkan peredaran gelap. Misalnya penerapan perda miras di beberapa daerah di Indonesia justru kenyataannya memudahkan konsumen untuk melakukan hal-hal yang membahayakan.
“Misalnya akibat pelarangan penjualan miras di minimart berdampak mahalnya harga miras. Akhirnya yang terjadi konsumen dalam hal ini masyarakat malah mengoplos miras dengan zat kimia lainnya. Akhirnya banyak bermunculan korban miras oplosan,” katanya. (fik)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 30 November 2024
26o
Kurs