Sabtu, 23 November 2024

Pasca Terpilihnya Trump, Bagi WNI di Silicon Valley

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Demonstran melanjutkan aksi penolakan terpilihnya Donald Trump di Los Angeles, Sabtu (12/11/2016). Foto: nbcnews.com

Dian Harumi Warga Surabaya yang Bekerja di Silicon Valley menceritakan bagaimana dia dan rekan-rekannya merasakan detik-detik kecemasan, pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Dian saat ini bekerja di bidang Teknologi Informasi di daerah yang terdapat banyak perusahaan bidang komputer yakni di selatan San Francisco Bay Area, California Amerika Serikat.

“Sejak Selasa (8 November 2016,red) pagi hari, sudah terpantau kehebohan Pilpres. Sekitar pukul 18.00 PST (Waktu Amerika Bagian Pasifik), saya sudah mulai melihat warna merah (Partai Republican) yang mendominasi hasil pemilihan Presiden di beberapa propinsi,” ujarnya melalui pesan elektronik kepada suarasurabaya.net, Minggu (13/11/2016) dini hari atau Sabtu (12/11/2016) malam waktu setempat.

Mereka Cemas, mengingat selama masa kampanye Donald Trump sering menyinggung kaum minoritas di Amerika Serikat secara negatif. Terutama berkaitan warga keturunan Mexico, warga muslim, warga keturunan Asia, dan kaum wanita.

“Pergantian hari Selasa ke Rabu, saya tidak bisa tidur. Banyak sekali yang ada di pikiran saya. For the first time in my life, saya khawatir akan keselamatan anak-anak saya, keselamatan saya dan suami saya, keselamatan umat Muslim, keselamatan warga keturunan Mexico, keselamatan keturunan Cina, keselamatan semua warga yang bukan asli kulit putih, keselamatan para wanita, dan keselamatan semua minoritas yang ada di Amerika Serikat,” katanya.

Dia juga teringat bagaimana dia pernah berdiskusi dengan koleganya di daerah Charleston Road, Mountain View, California, yang juga merasakan kecemasan itu. Bahkan sebelum Trump terpilih menjadi presiden. Beberapa koleganya diliputi kecemasan. Karena Donald Trump menyerang Muslim. Bahkan, koleganya sampai sempat berkata, “hanya orang gila yang memilih Trump, and he is such a joke from day one!” Ujarnya menirukan perkataan koleganya. Dia mengakui, pada hari itu, komentar dan dukungan kolega serta teman-temannya yang tidak setuju tindakan Trump, memberikan energi positif bagi dirinya.

Sementara, Dian yang tinggal dan bekerja di Silicon Valley, California juga merasakan atmosfir kecemasan tersebut. Sebab banyak sekali warga dari seluruh dunia yang datang dan bekerja di daerah itu. Seperti India, Cina, Filipina, Jepang, Korea, Turki, Polandia, Mesir, Jerman, Afrika dan masih banyak lainnya.

“Bekerja di Silicon Valley bersama orang-orang di bidang Software dan IT yang memiliki background pendidikan sangat menyenangkan, rata-rata penduduk di Silicon Valley dan California memilih Hillary Clinton. Karena Hillary mendukung dan menghargai perbedaan dari semua warga yang tinggal di Amerika Serikat,” ujarnya.

Dengan terpilihnya Trump, Dina merasa situasi sangat berbeda dengan pada saat Obama terpilih.

“Hal pertama yang saya dengar, “Welcome to United States of America. The land of opportunity, The land of free and The Home of the Brave (Selamat datang di Amerika Serikat. Tanah yang memberikan berbagai macam kesempatan, Tanah untuk kebebasan dan Rumah bagi mereka yang berjiwa berani,red), ini sangat bertentangan dengan fakta bahwa Donald Trump secara terang-terangan menyerang hak kebebasan semua warga Amerika Serikat untuk hidup damai, beribadah, dan menjadi pribadi yang baik.” ujarnya.

Dian dan beberapa pendatang disana sudah tidak tahu lagi, apakah slogan tersebut sama dengan kenyataan saat trump memimpin Amerika.

“Saya berdoa kepada Allah SWT and I will stand up for myselft, for my religion, for my race and for the equal rights to live in America. I am doing this not only for me. But also for my family, for Asians, Indians, Mexican, Chinese, and any other minorities in USA. Saya tidak akan membiarkan Donald Trump menginjak-injak hak kebebasan selama saya tinggal disini. Mohon doa dan dukungan dari seluruh warga Surabaya dan warga negara Indonesia. Karena kami, kaum Minoritas yang tinggal disini, sedang mengalami tekanan besar dari Donald Trump dan para pendukungnya,” ujarnya.

Sebelumnya, lansir Antara, Dewi Fortuna Anwar pakar politik internasional mengkhawatirkan kebijakan Trump Presiden terpilih Amerika Serikat. Menurutnya, Trump terkenal memiliki komentar kontroversial saat kampanye. Dia kondang dengan janji mendeportasi imigran, membangun tembok perbatasan antara Amerika Serikat dan Meksiko, mencegah kaum muslim masuk wilayah Amerika Serikat dan mengancam akan “meninggalkan sekutu-sekutunya”.

Meski hal ini merupakan kedaulatan Amerika Serikat, berbagai pernyataan itu tentu membuat cemas komunitas global. “Karena itu kita tunggu dan lihat saja dulu perkembangannya seperti apa, sambil menyesuaikan kebijakan agar terjadi hubungan yang saling menguntungkan,” kata Anwar, yang juga peneliti di LIPI itu, di Jakarta, Rabu (9/11/2016) lalu.

Sementara itu, unjuk rasa terbesar masih berlangsung di New York, Los Angeles dan Chicago, setelah beberapa malam sebelumnya berkaitan dengan kemenangan mengejutkan Trump pada Pemilu Selasa lalu. Di New York, ribuan demonstran berpawai damai di Fifth Avenue dengan mengenakan hiasan-hiasan Natal sebelum memadati jalan di sekitar Trump Tower, rumah Donald Trump.

“Kami ngeri, negeri ini telah memilih seorang rasis pembeci perempuan yang sama sekali tidak layak dengan membawa platform yang sungguh penuh kebencian,” kata Mary Florin-McBride (62), pensiunan bankir di New York yang membawa spanduk bertuliskan, “Tidak boleh ada Fasisme di Amerika.”

Unjuk rasa digelar di Chicago dan Los Angeles di mana ribuan demonstran berkumpul di Taman MacArthur Park sembari mengangkat spanduk bertuliskan “Dump Trump” (Buang Trump) dan “Minoritas itu penting”, sebelum bergerak ke pusat kota. (bry/ant/den/rst)

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs