Nahdlatul Ulama mengingatkan pentingnya status halal pada produk makanan dan minuman yang diproyeksikan menjadi motor pertumbuhan industri nonmigas pada 2016.
“Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia sehingga produk makanan dan minuman yang dihasilkan harus jelas status kehalalannya,” kata Choirul Sholeh Rasyid Ketua Pengurus Pusat Ikatan Sarjana NU (ISNU) kepada pers di Jakarta, Minggu (31/1/2016).
Choirul mengemukakan pernyataan tersebut menanggapi keterangan pemerintah yang memproyeksikan produk makanan dan minuman sebagai motor pertumbuhan industri nonmigas 2016 seperti dikemukakan Saleh Husin Menteri Perindustrian baru-baru ini.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian pada 18 Desember 2015 kepada pers juga menjelaskan, nilai pertumbuhan produk makanan dan minuman pada 2016 diproyeksikan sebesar 7,4 hingga 7,8 persen.
Choirul lebih lanjut mengemukakan, status halal sangat penting, baik pada produk makanan dan minuman yang dipasarkan di dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor.
“Status halal pada produk makanan dan minuman sangat penting, tidak lain karena Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim serta sudah banyak negara yang kini menekankan pentingnya status halal pada produk tersebut,” katanya seperti dilansir Antara.
Ketua ISNU juga menjelaskan, kepastian status halal untuk produk makanan dan minuman yang diproduksi di Indonesia akan mampu menjadi pembeda dalam persaingan ekonomi dunia, khususnya pada era pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai awal 2016 ini.
Ia juga menegaskan, sejak dini harus dibangun pola pikir pada masyarakat bahwa produk makanan dan minuman yang diperjual-belikan di Indonesia serta untuk tujuan ekspor harus mengantongi sertifikat halal.
Dalam hubungan itu pula, menurut dia, NU mendorong Kementerian Perindustrian supaya mengeluarkan surat edaran kepada seluruh produsen makanan dan minuman di Indonesia untuk memperhatikan status halal produk yang dihasilkannya.
“Dari sini masyarakat bisa menilai bahwa produk makanan dan minuman yang tidak dilengkapi label halal asli berarti tidak layak dikonsumsi, khususnya oleh konsumen Muslim,” kata Choirul yang tercatat sebagai salah satu perumus Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) yang disahkan DPR bersama Pemerintah pada 2014. (ant/dwi)