Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama, mengajak seluruh umat beragama menyikapi perbedaan dan keragaman dengan musyawarah, tanpa ribut-ribut di jalanan atau unjuk rasa.
Meskipun unjuk rasa itu dijamin oleh undang-undang dalam negara demokrasi, praktiknya unjuk rasa sering kontra produktif dan dimanfaatkan pihak lain untuk memanaskan situasi.
Indonesia adalah negara besar yang memiliki keragaman dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menghormati keragaman itu tidak dimiliki negara lain yang sekarang dilanda konflik seperti Suriah, Afganistan, Turki, Irak, Libya, Mesir, Yaman dan
beberapa negara lainnya.
Situasi yang mencemaskan itu tidak boleh terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI, yang dibangun dengan darah dan nyawa para pejuang kemerdekaan.
“Sebab itu kalau menyelesaikan perbedaan dengan cara musyawarah tidak mendapatkan titik temu, ada cara lain yang lebih beradab yakni diselesaikan melalui jalur hukum,” kata Menag.
Masyarakat Indonedia yang religius, memang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan beragama.
Persoalannya di sini bukan masyarakat tidak boleh menggunakan agama, tapi bagaimana agama itu bisa dengan benar, tanpa menimbulkan benturan.
Secara terpisah Mgr. Dr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Uskup Agung Jakarta, selaku ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) mengapresiasi pernyataan Menteri Agama dalam menyelesaikan perselisihan dan mengajak seluruh umat beragama tetap menjaga kerukunan.
“Rasa saling menghormati yang terbangun selama ini jangan sampai dikorbankan
hanya untuk kepentingan politik duniawi sesaat, supaya seluruh anak bangsa bisa hidup berdampingan dengan damai selamanya,” ujarnya.(jos/iss)