Wiwit Manfaati (48) tak pernah membayangkan handycraft Eceng Gondok miliknya jadi mendunia. Pada gelaran Prepcom III UN Habitat di Surabaya Juli 2016 lalu, ribuan peserta membawa pulang tas anyaman buatannya sebagai buah tangan.
Bagi warga Kebraon Surabaya ini, capaian itu merupakan bagian dari menekuni produk daur ulang Eceng Gondok yang tumbuh di Waduk Kedurus, belakang rumahnya.
Wiwit mulai menekuni produk kreatif ini sejak tahun 2006. Saat itu ekonomi keluarga sedang terpuruk. Pekerjaan suaminya Supardi (49) sebagai kontraktor tak bisa diharapkan lagi. Rintisan usaha jual beli komputer juga bangkrut, ditipu orang. Hutang tersebar di mana-mana.
“Saat itu kami benar-benar jatuh miskin. Saya berfikir bagaimana harus bangkit. Tiga anak saya harus tetap sekolah. Saya bahkan terpaksa harus menerima bantuan pendidikan untuk anak saya,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Jumat (23/12/2016).
Untuk bertahan hidup, dia terus bekerja serabutan saat itu. Suaminya jadi sopir rental, sementara Wiwit jualan baju di Masjid Al Akbar, Surabaya. Di sela waktu di rumah, dia mencoba mengambil beberapa enceng gondok dari Waduk belakang rumah kemudian dijemur lantas dianyam menjadi produk kreatif. Saat itu, dia belajar dengan ibu-ibu di kelurahannya. Namun, hasilnya belum maksimal.
Langkah Wiwit mulai menemukan jalan ketika kampungnya masuk dalam lomba green and clean yang digelar Pemkot Surabaya tahun 2007. Di tahun itu, kreatifitas Wiwit diuji, dan mendapatkan apresiasi dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko).
“Karena tertarik dengan semangat saya, Bappeko kemudian mengelar pelatihan. Saya rutin mengikuti pelatihan kerajinan handicraft ini,” ujarnya.
Pada tahun 2007 itu Wiwit mulai banyak pesanan. Awalnya barangnya dia titipkan ke teman-temannya yang memiliki outlet-outlet kerajinan handycraft. Dengan aktifitas ekonomi kreatif itu, Wiwit kemudian menjadi satu-satunya perajin eceng gondok yang paling bagus. Sehingga, pada 2008 dia sering diundang ke berbagai daerah untuk mengisi pelatihan.
“Sejak itu, suami saya ikut membantu. Karena saya kadang keluar kota untuk menjadi pemateri. Pesanan souvernir pesta pernikahan dan acara-acara pemerintahan terus mengalir,” katanya.
Dalam menjalankan home industri kreatif ini, Wiwit memiliki karyawan inti hanya dua orang, tapi dia bisa melibatkan 70 warga kampungnya. Mereka bisa mengambil garapan dari Wiwit dan dibeli olehnya.
“Awalnya mereka saya ajari satu persatu bangaimana cara menganyam dengan baik. Setelah bisa baru saya kasih garapan,” katanya.
Wiwit merupakan generasi pertama Pahlawan Ekonomi. Dia juga merupakan salah satu inspirator sehingga Tri Rismaharini Walikota Surabaya terus mendengungkan pentingnya menghidupkan ekonomi keluarga, hingga pada tahun 2010 dibuat Gerakan Pahlawan Ekonomi dengan beberapa lomba dan pameran.
“Saya juara satu untuk kategori industri kreatif di tahun 2011,” ujarnya. Menurut Wiwit, pergulatan tekad dan jaringan sangat penting dalam membangkitkan perekonomiannya. Hal itu dibuktikan, ketika Pemkot Surabaya memesan produknya dengan jumlah besar untuk souvernir delegasi Prepcom III UN Habitat pada Juli lalu. Sebanyak 5100 produk Wiwit dipesan saat itu.
“Awalnya sama Bu Risma dipesan 7000 buah, saya kaget dan takut. Dengan jangka waktu sebulan mana mungkin saya bisa. Bu Risma terus memotivasi, dicoba dulu. Akhirnya bisa 5100 itu,” katanya.
Menurut Wiwit, bisnis kreatif Eceng Gondok memang sulit. Proses pengeringan memakan waktu 14 hari di bawah terik matahari. Setelah benar-benar kering, satu per satu helai dianyam hingga berbentuk lembaran panjang. Untuk menjadikan satu produk memakan waktu dua hari.
Produk Wiwit cukup variatif, mulai dari tas wanita, tas laptop, tempat tisu, tatakan gelas, tudung saji, tas wanita, penyekat ruangan, meja, kap lampu, hingga keranjang bayi. Semuanya terbuat dari bahan dasar eceng gondok yang dimodifikasi dengan beberapa bahan perhiasan seperti pita dan lainnya.
Di tahun 2016, omset bulanan yang diputar Wiwit sudah mencapai Rp35 juta. Pesanan paling besar saat acara Prepcom III sebanyak 5100 dengan harga Rp200 ribu perbuah. Wiwit bersyukur sekarang ada juga buyer (pembelinya) yang mengekspor barang-barang miliknya ke luar negeri.
“Sekarang para wisatawan luar negeri juga banyak yang datang ke rumah. Pembeli saya juga ada yang rutin mengambil untuk diekspor ke luar negeri seperti Jepang dan Australia,” katanya.
Wiwit kini sudah hidup berkecukupan. Dia punya dua mobil. Anak pertamanya kuliah di Unair, anak keduanya masih SMA dan anak ketiganya duduk di bangku SMP. Dia juga bisa mengontrak bangunan untuk showroom produk-produknya. Waktu dapat pesanan banyak, dia biasa menyewa gudang untuk penyimpanan hasil produksinya.
Mesin Ekonomi Kedua Keluarga
Kisah Wiwit merupakan satu diantara ratusan ibu-ibu sukses yang biasa disebut Pahlawan Ekonomi Kota Surabaya. Setiap tahun Awarding Pahlawan Ekonomi digelar.
Tahun 2016 ini, anugerah Pahlawan Ekonomi diramaikan 250 produk UKM baik kuliner maupun produk kreatif lainnya. Jumlah UKM di Surabaya juga terus meningkat, tahun ini 3500 UKM meningkat dari tahun sebelumnya 2700 UKM, dan tahun 2014 yang masih 1500 UKM.
Agus Wahyudi Humas Pahlawan Ekonomi mengatakan, Awarding Pahlawan Ekonomi diseleksi dari 31 kecamatan di Surabaya yang dibagi dalam 3 klaster yaitu klaster kreatif, klaster home industri, dan klaster kuliner bisnis.
Ada yang berbeda dari tahun sebelunnya, awarding tahun ini mensyaratkan pengusaha UKM harus punya Facebook fanpage dan menyerahkan laporan keuangan. Hal ini sesuai spirit tagline Pahlawan Ekonomi 2016, go global, go financial dan go digital.
Agus mengatakan, produk UKM yang sudah ditata di tahun lalu sebanyak 120 UKM, maka dari itu target tahun ini rencananya 200 UKM yang akan direpackaging produknya.
“Kami bekerjasama dengan Kreavi.com, para pemilik UKM tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendesain kemasan produknya. Semuanya gratis,” katanya.
Selama ini, kata Agus, ada 999 produk unggulan yang sudah bersaing di level nasional. Produk itu sudah tersebar di retail modern di Indonesia seperti Carrefour dan waralaba lainnya.
“Pahlawan ekonomi ini merupakan mesin kedua menghidupkan ekonomi keluarga. Ibu rumah tangga bisa berpenghasilan tanpa meninggalkan rumah, sedangkan suaminya bisa bekerja seperti biasa,” katanya.
Bagi masa depan Pahlawan Ekonomi Surabaya saat ini adalah bagaimana memperbaiki mentalitas, karena ini bukan terbentuk tapi dibentuk. Mereka digerakkan bukan bergerak sendiri. Saling berjejaring.
“Maka dari itu tahu ini juga ada intership (program magang) bagi pemula. Jadi, UKM yang sudah jadi dan berhasil bisa jadi studi banding bagi yang pemula,” katanya.
Tri Rismaharini Walikota Surabaya berulang kali menyampaikan jangan terlalu nyaman menjadi pegawai atau karyawan, karena itu ada batasnya. Jadilah pengusaha yang bebas berkreatifitas dan berbisnis tanpa ada batas usia.
Program pemberdayaan ekonomi warga yang digagas Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sejak 2010 lalu ini terbukti telah membantu warga menjadi lebih berdaya dan sejahtera.
Risma mengatakan, gerakan ini bukan tidak ada hasilnya, sejak 2012-2015 telah bisa pendongkrak daya beli masyarakat hingga 80 kali lipat.
“Ini luar biasa. Saya berterima kasih kepada para pejuang ekonomi, para ibu-ibu yang terus tekun dalam gerakan pemberdayaan ekonomi ini,” ujarnya di hadapan peserta Pahlawan Ekonomi 2016, Sabtu (3/12/2016).
Menurut Risma, jika masyarakat hanya mengandalkan dari pekerjaan atau status pegawai untuk menggerakkan ekonomi keluarga tidak akan cukup. Karena menjadi karyawan dan pegawai itu ada batasnya.
“Sampean saya ajak ke dunia usaha ini. Sebab, bila jadi pegawai ada batasnya. Sementara kalau punya usaha, kita bisa berkembang terus. Ayo terus berusaha agar kita lebih sejahtera. Kita harus percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin,” kata Risma.
Meluruskan Paradigma Inflasi
Meski capaian kota Surabaya dalam menggerakkan ekonomi warganya terus dinamis, tapi Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim beberapa kali merilis Surabaya termasuk Kota dengan Inflasi tinggi di Jatim.
Menurut Kresnayana Yahya, bisnis analis dan pakar statistik dari Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya mengatakan, problem inflasi di Kota Surabaya ini selalu dilihat dari sisi negatif. Karena, agak susah membandingkan perilaku belanja dan konsumsi warga kota Surabaya dengan daerah lain, dengan menggunakan indikator yang sama.
Di Surabaya, sumber inflasinya mestinya beda yang diukur. Kota-kota besar itu konsumsi bahan makanannya memang kecil sekali sekitae 15 persen, tapi konsumsi barang skundernya lebih tinggi.
Menurut Krenayana, Surabaya dibanding Lumajang jelas beda, skalanya beda. Menurut dia, sangat tidak adil bila indeks inflasi Surabaya tinggi karena mengimpor bahan makanan dari daerah menjadi hukuman atau kecaman. “Justru bagus karena hasil pertanian daerah lain dibeli di sini, ini justru sehat,” kata dia.
Menurut Kresnayana, indikator tumbuhnya perekonomian Surabaya harusnya dilihat dari bobot yang lebih tinggi. Misalnya, barang UKM berkelas yang sudah go internasional tidak pernah dijadikan indikator.
“Berkat kerja UKM, konsumsi kota ini naik 60 kali lipat karena valuenya, barangnya sudah ada mulai ada desainnya, branded, packaging, ada sentuhan internasional marketnya. Mestinya ada fearnes dalam menyajikan data,” katanya.
Kresnayana mengatakan, setiap kota memiliki perannya sendiri-sendiri. Kota ini menjadi kuat dalam kreatif ekonomi yang mulai menghasilkan devisa, yang indeks harga konsumennya untuk ekonomi lokal. Mestinya ada indeks peran globalnya kota, misalnya Surabaya sudah 80 persen.
“Kalau ribut dengan ukuran lama, tidak ada gunanya. Ini kita sudah berkontribusi internasional. Kalau tidak punya produk pertanian, maka ciptakan menjadi pasar besar makanan di sini,” katanya.
Kresnayana menilai, kota Surabaya jangan dihukum dengan ukuran yang tidak fear. Pertumbuhan kota tidak bisa diukur dan dibandingkan dengan ongkos hidup saja.
“Cara mengukur indeks pertumbuhan ekonomi harus diubah. Harus mau beranjak, berubah. Inflasi tidak untuk menghukum. Justru sepantasnya inflasinya tinggi di Surabaya bagus,” katanya. (bid)