Taman hijau dan asri di halaman setelah pintu gerbang tampak lengang. Dua petugas berjaga di pos keamanan sebelah kiri (utara) pintu gerbang.
Menjadi penjaga di tempat itu, keduanya memang harus menanyakan apa keperluan setiap tamu yang datang ke sana. Hendak menemui siapa.
”Tunggu sebentar di sini. Saya lihat dulu,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, sore itu. Petugas itu berjalan mengitari taman terus ke timur.
Kemudian, petugas itu menepukkan kedua telapak tangannya, lalu melambaikan tangan kanan. Isyarat agar suarasurabaya.net mendatanginya.
“Mas Topan masih ngobatin pasien, itu orangnya yang duduk di lantai,” ujarnya. “Tunggu sebentar, ya.”
Banyak mata tertuju pada suarasurabaya.net dengan nanar. Bau amis dari perban penutup luka meruap, menambah suramnya suasana sore itu.
Topan menganggukkan kepala dengan sopan. Pria bertubuh kekar itu sedang membersihkan borok dan mengganti perban di kaki salah seorang “pasien” Barak A yang tampak kesakitan.
Bukan pasien rumah sakit atau puskesmas. Karena Topan tidak bisa disebut perawat. Dia Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas 45 Surabaya.
Tugas Topan mendampingi penghuni di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, Surabaya. Termasuk para penyandang psikotik (gangguan kejiwaan).
“Maaf mas. Tunggu sebentar, ya. Saya selesaikan ini dulu,” ujar pria 29 tahun itu sembari melempar senyum ramah.
Topan tidak hanya mendampingi. Tangannya terampil mengobati. Dia bahkan memandikan, memotong rambut, hingga memotong kuku pasien-pasien psikotik di Barak A.
Empat belas tahun Topan melakoni profesi ini. Dia tidak sendiri. Ada 14 pendamping lain yang mendampingi 1.312 penyandang masalah sosial di empat barak yang ada di Liponsos Keputih.
Barak A dihuni “pasien” psikotik laki-laki. Barak B untuk psikotik perempuan. Sedangkan barak C dan Barak D, masing-masing untuk gelandangan dan pengamen (gepeng) perempuan dan laki-laki.
Topan pendamping termuda. Tapi sekaligus terlama. Berulangkali dia berkenalan dengan para pengganti pendamping lain, yang sudah tidak betah melakukan pekerjaan itu dengan berbagai alasan.
“Awal-awal kerja dulu, saya berpikir, setidaknya satu atau dua tahun. Setelah dapat yang lebih baik, saya keluar,” kata pria kelahiran Surabaya bernama lengkap Ulun Topan ini.
Namun ada sebuah peristiwa pada suatu hari 2006 silam yang mengubah pikiran itu. Sejak hari itu, Topan memutuskan pekerjaannya di liponsos adalah profesi yang ingin dia geluti.
Suatu hari pada 2006 lalu, dia berjalan-jalan di luar Liponsos bersama pacarnya (pada 2011 resmi menjadi istrinya). Ada seseorang menunjuk-tunjukkan jari ke arahnya.
“Mantan pasien setahun di sini (Liponsos,red). Setelah salaman, dia bilang ke ayahnya, “ini lho Mas Topan, yang ngerawat aku di Keputih. Katanya sampeyan pengen tahu,”” kata Topan mengisahkan kembali kenangannya.
Topan mengaku, saat itu dia merasakan sesuatu yang tidak mampu dia gambarkan. Tapi sejak itu, dia menyadari ada hal lain selain uang yang lebih menyenangkan.
”Rasanya, hari itu seperti ada hadiah nobel yang saya terima. Ternyata saya ada gunanya buat mereka. Apa yang saya lakukan berpengaruh untuk mereka,” katanya.
Sejak hari itu, sebisa mungkin dia melayani pasien psikotik dengan lebih baik lagi. Sejak saat itu, dia berupaya keras agar tujuan pekerjaannya tercapai.
“Saya ingin mereka (penyandang psikotik) tidak selamanya berada di sini. Saya ingin mereka keluar, kembali kepada keluarganya, dan menjalani hidup dengan lebih baik,” ujarnya.
Tapi tak jarang, para pasien yang sudah sembuh kembali ditelantarkan oleh keluarganya. Topan mengatakan, kebanyakan karena masalah ekonomi.
“Saya punya mimpi. Bikin usaha. Yang kebayang sekarang, cuci motor dan mobil. Mungkin di depan sana (menunjuk lahan di seberang Liponsos). Supaya mereka (mantan pasien psikotik) bisa punya pekerjaan, punya penghasilan, tapi tetap bisa saya awasi,” katanya.
Di balik ketegarannya, Topan mengakui seringkali merasa down. Manusiawi, katanya. Istrinya, ibunya, juga kawan-kawannya menyarankan agar dia beralih ke pekerjaan lain.
Apalagi profesi Topan di Liponsos ternyata cukup berisiko. Anak pertama dari empat bersaudara itu pernah mengalami patah kaki akibat hantaman paving oleh pasien psikotik.
“Ya ini bagian dari risiko pekerjaan. Mau marah ke siapa, wong mereka juga enggak mengerti,” katanya.
Bimbang juga berulangkali hinggap di hatinya. Istrinya pernah mengajaknya merantau, mencari suasana baru. Sedangkan kawannya menawarkan pekerjaan sebagai marketing di sebuah perusahaan di Bali.
“Tapi rasanya aneh kalau enggak ketemu mereka (pasien psikotik). Sudah seperti kebutuhan,” ujar Topan.
Tidak hanya sekali dua kali Topan mengajak istrinya ke Liponsos Keputih. Bahkan sampai menginap di sana. Dia berupaya mengenalkan dunianya.
Kepada kawan-kawannya, Topan seringkali menjadikan pasien-pasiennya sebagai contoh bila ada kawannya yang mengeluhkan masalah yang dihadapi.
“Tinggal saya carikan saja contohnya. Ada yang seperti itu (gangguan jiwa) karena patah hati, ada yang cuma gara-gara tidak dibelikan sepeda,” katanya.
Lalu Ibunya melarang Topan meneruskan profesi yang dia geluti sekarang. Kekhawatiran seorang ibu kepada anaknya.
“Saya bilang ke Ibu, gandeng arek-arek iki nyenengno, Bu. Enggak nggarai wong liyo, enggak ngerasani wong liyo. Ngguyu tok isine (bersama anak-anak (pasien psikotik,red) itu menyenangkan, Bu. Tidak mengganggu atau menggunjing orang lain. Isinya tertawa terus),” ujarnya mengulang perkataan kepada ibunya.
Prinsip bekerja yang Topan pegang teguh saat ini, akhirnya dia sadari, adalah hasil pemahamannya atas pesan-pesan mendiang ayahnya.
Kerjo opo wae sing telaten, sing bener-bener (kerja apapun yang telaten, yang serius (saat bekerja)). Begitulah salah satu pesan ayahnya.
“Saya memahami pesan ayah saya, bahwa rezeki itu bukan hanya uang. Bahagia juga rezeki buat saya. Mereka (pasien psikotik) juga rezeki buat saya. Fee-nya, ucapan terima kasih dari keluarga mereka setelah keluar dari sini,” katanya.(den/edy)
Teks Foto :
– Topan saat melayani penderita psikotik di Liponsos Keputih. Sudah belasan tahun dia “bergumul” dengan mereka.
Foto : Rindy suarasurabaya.net