Pagi belum beranjak ketika Rohimah (70), duduk di antara gunungan kulit kerang di sepanjang bibir pantai Kenjeran, Surabaya. Tangan terampilnya terus memilah kulit kerang yang terseret ombak pasang semalam.
Setiap pagi, kecuali Minggu, wanita tiga cucu ini rutin memilah kulit kerang untuk dijual ke pengepul. Kulit kerang yang kecil-kecil dia jual Rp40 ribu setiap 25 kilogram. Oleh pengrajin, kulit kerang ini biasa dirangkai menjadi aneka hiasan dan dijual di kawasan pariwisata sekitar Kenjeran.
Pantai Kenjeran tampak bersih pagi itu, sangat berbeda dengan dua tahun lalu. Rohimah yang sudah lima tahun mengais penghasilan dari limbah kulit kerang di pesisir Surabaya ini menjadi saksi perubahan pantai di pesisir timur Surabaya ini.
“Sekarang lebih bersih nak, tidak ada kotoran manusia lagi. Kalau dulu ya harus hati-hati kalau jalan di sini,” ujarnya ketika ditemui suarasurabaya.net, Sabtu (19/11/2016). Tak jauh dari tempat duduk Rohimah, deretan toilet umum memang sudah dibangun dan bisa digunakan warga.
Tak hanya toilet umum, melalui program penataan kawasan nelayan, Tri Rismaharini Walikota Surabaya memang telah menyulap budaya warga sekitar Kenjeran untuk taat tak buang hajat sembarangan.
Tak hanya soal buang hajat sembarangan, kawasan pesisir Surabaya juga ditata. Jalan-jalan di setiap gang kampung pesisir kini dipaving. Beberapa bunga menghiasi kiri-kanan jalan. Di setiap gang juga dilengkapi toilet umum untuk warga.
Kampung Nambangan, Kelurahan Kedung Cowek merupakan salah satu kawasan pesisir yang mulai berbenah. Meski belum tampak begitu asri, namun kawasan ini sudah mulai tertata rapi. Warga sekitar yang dikenal pengolah ikan kering ini tak lagi menjemur ikan di jalan-jalan, ada tempat penjemuran ikan asin yang dibangunkan pemerintah untuk dipakai bersama. Selain itu ada lapangan futsal untuk main anak-anak mereka.
Begitu juga di Kampung Bulak, Kelurahan Kenjeran. Anak-anak bebas bermain di gang-gang. Tak jauh dari pemukiman mereka, ada taman besar yang masih dalam tahap pembangunan. Di taman itu rencananya juga akan dibangun patung Suro dan Boyo yang lebih besar dari icon Suro dan Boyo yang ada di depan Kebun Binatang Surabaya.
Suprayitno Camat Bulak mengatakan, ada lima RW di tiga kelurahan kampung nelayan yang ditata pemerintah kota dan mendapatkan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yaitu Kelurahan Sukolilo Baru, Kelurahan Kenjeran, dan Kelurahan Kedung Cowek.
“Penataan kampung nelayan ini meliputi pembenahan sanitasi, pavingisasi jalan, MCK, Ipal, tempat penjemuran ikan, pengecatan rumah, bantuan pemasangan air bersih, dan saluran irigasi (drainase) kampung,” ujarnya.
Selain itu, juga dibangun gedung pertemuan serbaguna di kampung Cumpat, tempat perebusan kerang, plengsengan tanggul kampung nelayan, serta lapangan futsal di Nambangan. Sebanyak 50 rumah warga tak mampu juga dibangunkan WC.
Menurut Suprayitno, penataan kampung nelayan di kawasan pesisir Kenjeran disesuaikan kearifan lokal masing-masing kampung. Misalnya, kampung Perahu dibangun di RW1 Kelurahan Kenjeran, Kampung Kerang ada di Cumpat, Kampung ikan kering di Nambangan, dan pengasapan ada di Kejawan Lor.
Suprayitno mengatakan, merubah kebiasaan warga kampung nelayan untuk hidup bersih dan rapi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena mereka telah hidup dengan tradisi nelayan secara turun temurun selama 30 tahun.
“Selain menata lingkungan pemukiman, sosliasisali model cangkrukan harus terus dilakukan. Pendekatan ini lebih efektif untuk mengajak berubah bersama,” katanya.
Menata dari Lingkungan
Agus Imam Sonhaji Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya mengatakan, tujuan pembangunan kampung nelayan itu sebagai wujud menata peradaban baru di kawasan Kenjeran tanpa menggusur.
Penataan kampung nelayan ini tidak dilakukan dengan memugar rumah, melainkan memperbaiki lingkungan, sosial dan kebiasaan untuk hidup sehat. Bagi rumah nelayan yang kurang mampu, akan diberikan program bedah rumah senilai Rp10 juta.
“Area-area yang menjadi hak privat seperti rumah tetap seperti semula. hanya kita perbaiki gangnya, salurannya, jalannya kita buat rapi. Jika lingkungannya bagus, mereka akan terdorong menyesuaikan diri,” katanya.
Agus mengatakan, dibangunnya tanggul laut dan dermaga kecil untuk para nelayan di bawah jembatan Suroboyo untuk menarik wisatawan bisa melihat aktivitas nelayan menangkap ikan, mengolah hasil tangkapan serta bisa menyantapnya.
Pembangunan fisik penataan kampung nelayan telah dimulai sejak awal 2016. Dananya dari APBD dan mendapat bantuan dari Satuan Kerja Kementerian PUPR. Dana yang dianggarkan Rp40 miliar dari kementerian dan Rp10 miliar dari pemerintah kota. Untuk dana dari kementerian digunakan untuk membuat batas atau tanggul laut. Program ini sebenarnya juga untuk membatasi area pemukiman di pesisir pantai.
Johan Silas Pakar Tata Kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan, penataan kampung nelayan di pesisir Kenjeran memang butuh penyesuaian dengan kearifan lokal para penduduknya.
“Kesulitannya pemukiman tersebut dekat dengan laut. Sehingga, mereka tidak begitu suka dengan penghijauan, kalau terlalu rimbun kan susah untuk jemur ikan bagi kampung yang khusus pengolah hasil laut,” katanya.
Terkait dengan limbah ikan dan kepedulian dengan sanitasi. Pemerintah kota dinilai sudah cukup bagus dalam mendorong mereka agar mau terlibat. Tri Rismaharini sebagai walikota juga sering turun untuk ikut kerja bakti mengecat kampung sehingga warga akhirnya dengan sukarela juga ikut melakukan pengecatan.
Selama ini, kata guru besar tata kota ini, tradisi nelayan selalu berhubungan dengan kehidupan laut. Bahkan, soal buang air mereka juga digantungkan kepada laut. “Ibaratnya laut bisa mengatasi kehidupan nelayan. Jadinya memang terkesan kumuh, tapi itu bisa dilatih diajak terlibat untuk berubah seperti dibuatkan jamban-jamban,” katanya.
Jembatan Suroboyo yang dibangun melintang di Kenjeran juga terbukti mampu menarik banyak orang datang untuk berwisata yang ujungnya juga menjadikan budaya kumuh warga sekitar mulai hilang dengan sendirinya. “Semakin banyak orang datang, dengan sendirinya warga kan malu untuk hidup kumuh,” kata Johan.
Sementara menurut Bagong Suyanto Pengamat Sosial dan Kemiskinan dari Universitas Airlangga Surabaya, merubah budaya nelayan harus dengan teori rekayasa sosial (Social Engineering), dengan membangun lingkungan dan penampakan baru di pemukiman tersebut.
Menurut Bagong, di luar kebiasaan tradisi warga nelayan, ada faktor ekonomi yang juga menjadikan warga sulit berubah. “Bagi mereka, kalau bangun WC di rumah butuh uang untuk bayar air bersih. Mungkin bagi mereka tidak terlalu penting air dipakai untuk di WC, toh sudah ada laut yang luas dan bisa bersih disapu ombak,” katanya.
Selain itu, buang air besar di laut bisa jadi sebagai kebiasaan yang menyenangkan, selain bisa memandangi laut juga bisa bercengkrama dengan kawannya. Sehingga memotong mata rantai tradisi itu, harus dengan Counter Culture yang pas. Misalnya, dengan membuat gerakan budaya malu kalau buang air besar di laut.
“Harus ada nilai-nilai baru yang dihadirkan. Jangan hanya dengan alasan kesehatan saja, belum tentu berdampak. Mereka bisa menyangkal dengan argumentasi buktinya mereka sehat-sehat saja selama ini meski buang air di tepi laut,” katanya.
Jadi Contoh Penataan Pemukiman Internasional
Saat ini, proses perubahan peradaban di Kenjeran terus dikejar oleh pemerintah. Basuki Hadimuljono Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dalam sebuah kesempatan di The Third Session Preparatory Committe (Prepcom) 3 Habitat III di Surabaya, berulangkali memberikan pujian kepada Pemerintah Kota Surabaya yang dinilai berhasil dalam menata kawasan Kenjeran menjadi lebih cantik dan berdaya secara ekonomi.
Menteri kelahiran Surakarta ini menilai, langkah Pemkot Surabaya dalam menata kawasan Kenjeran bisa menjadi contoh bagus bagi negara-negara di dunia dan juga pemerintah daerah lainnya. Penataan sebuah kawasan haruslah terencana dan mengedepankan perbaikan.
“Penataan kawasan Kenjeran ini menjadi contoh bagus. Ini warganya tidak dipindah, tetapi tempatnya yang diperbaiki. Sanitasinya diperbaiki dan kawasan ekonominya dibangun. Seperti, ada tempat kuliner bagus dan juga Jembatan Suroboyo dengan air mancur menarinya,” kata Basuki.
Basuki sendiri juga sempat mengunjungi dan menyaksikan secara langsung wajah baru Kenjeran. Saat itu, selain menyaksikan eksotisme air mancur warna warni yang menari di Jembatan Suroboyo, Menteri pemegang gelar S3 Teknik Sipil Colorado State University, Amerika Serikat ini juga diajak menikmati ikan bakar di Sentra Ikan Bulak (SIB).
Menurut Basuki saat ini Kementerian yang dia pimpin sedang melakukan penataan kawasan nelayan. Penataan kawasan nelayan ini, ditargetkan dapat menjangkau 10 kampung nelayan selama lima tahun ke depan. Dia menjanjikan penataan kawasan ini tanpa dibarengi penggusuran.
Penataan kawasan nelayan ini, kata Basuki, termasuk dalam program Kementerian PUPR 100-0-100. Melalui program itu, Kementerian PUPR menargetkan penyediaan 100 persen sanitasi layak, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen air minum layak di tahun 2019.
Basuki menyebut, salah satu penataan kawasan yang bisa dijadikan contoh adalah kawasan Kenjeran, di Surabaya. Selain di Surabaya, penataan kampung nelayan juga dilakukan di Bengkulu, Tegal dan Pontianak. Dengan penataan ini maka kampung nelayan diharapkan bisa lebih beradab dan tak lagi kumuh serta tertinggal. (bid/fik)
Teks Foto:
– Rohimah saat memilah kulit kerang yang tersapu ombak di tepi pesisir Kenjeran.
– Anak-anak nelayan bermain di jalan Kampung Bulak yang telah dipaving.
– Para nelayan perempuan sibuk menjemur ikan di tempat penejemuran iakn di Nambangan. Foto: Abidin suarasurabaya.net