Rabu, 4 Desember 2024

Kisah Perempuan di Pusaran Perang 10 November

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi. Foto pejuang perempuan di bidang kesehatan di kawasan Jawa Tengah pada 1948. Foto: Badan Arsip Jatim

Tidak hanya laki-laki, pertempuran mempertahankan kemerdekaan di Surabaya sejak 10 November 1945 juga melibatkan banyak pejuang perempuan. Peran mereka tidak kalah penting, baik di dapur umum dan urusan kesehatan di Palang Merah.

Dekik Moenari salah satu pejuang perempuan di bidang kesehatan mengisahkan, bagaimana pertempuran di Surabaya telah menggugah semangatnya, sekaligus membuatnya mengalami masa-masa yang sulit.

Nama Dekik adalah julukan yang dia dapat dari kawan-kawannya karena lesung pipit di pipinya yang selalu tampak saat tersenyum. Sedangkan Moenari diambil dari Moenari Soekirman nama suaminya, yang juga tentara Indonesia di masa perjuangan. Nama aslinya, menurut beberapa sumber adalah Sri Suparni.

Perempuan kelahiran Kota Solo pada 20 oktober 1927 silam ini sempat bekerja di salah satu rumah sakit di Solo. Saat usianya 18 tahun, pada sekitar bulan November 1945, Dekik bersama rekan-rekannya di rumah sakit memutuskan untuk berangkat ke Surabaya untuk turut berjuang.

“Kami mendengar mengenai perang di Surabaya. Gencar sekali. Setiap malam kami mendengar berita di radio, yang disiarkan oleh Bung Tomo. Kami yang saat itu satu asrama dengan Dokter tergugah hatinya,” ujarnya dalam wawancara dengan Esti Kartikaningsih, Staf Badan Arsip Provinsi Jatim 2004 silam.

Dokter di asrama yang dia maksud adalah Dr Munandar, yang tiba-tiba berceletuk mengajak anak buahnya, “eh, ayo rek sopo sing gelem melu perang ning Suroboyo? (Eh, ayo siapa yang mau ikut perang ke Surabaya?)”

Dekik mengaku heran, entah apa yang menggerakkan dirinya saat itu. Dia langsung mengajukan diri. Mengacung dan mengatakan, “iya Dok, dalem (saya,red).” Demikian halnya tujuh rekannya yang lain di asrama itu.

Bersiap dengan pakaian seadanya, keesokan harinya mereka berangkat ke Surabaya naik kereta api, turun di Mojokerto, langsung terjun ke pertempuran. Sempat ke Surabaya, namun pasukan yang mereka ikuti terus mundur hingga ke desa-desa di luar Surabaya.

“Di situ (Surabaya) sudah ramai sekali, memang kekurangan tenaga (kesehatan) sekali itu. Bung Tomo mengatakan, “Ayo saudara-saudara ingatlah saudaramu yang di Surabaya banyak prajurit yang sengsara terkena peluru.” Pokoknya yang luka-luka itu,” kata Dekik.

Dr William Frederick, peneliti asal Amerika Serikat di bukunya berjudul Pandangan dan Gejolak menggambarkan Surabaya pada 10 November 1945 sudah dibombardir oleh kapal perang sekutu.

Dekik saat itu bergabung di Palang Merah 45 yang bertugas mengawal salah satu batalyon tentara melawan pasukan sekutu di perbatasan Surabaya. Dia menuturkan, bagaimana pasukan itu terus mundur karena serangan tentara Sekutu Belanda.

Di Palang Merah 45, dia berjuang di bawah pimpinan Dokter Sidakjuar. Dekik dan rekannya di Palang Merah 45 turut bergerilya. Setiap kali ada pejuang yang terluka dan membutuhkan operasi, mereka akan membawanya ke rumah sakit terdekat, misalnya di Balongbendo, Sidoarjo. Sedangkan untuk luka berat dan membahayakan nyawa, mereka akan membawa pejuang itu ke Rumah Sakit Budi Puji, Mojokerto.

Pada masa pertempuran ini, pos-pos Palang Merah didirikan secara dadakan, misalnya seperti pos yang ada di Gunungsari. Dekik sempat mengunjungi pos itu untuk merawat para pejuang yang terluka.

“Jadi gitu terus, bikin pos untuk menolong pejuang. Kita saat itu komunikasi terus dengan batalyon,” ujarnya. Bila ada kabar dari batalyon ada “serangan umum” petugas Palang Merah meninggalkan pos dan membuat pos di daerah lain.

Dekik sempat mengalami berpindah-pindah desa bersama rekannya karena desakan pasukan sekutu. Sebagian besar dia alami saat berada di Mojokerto. Dari Krian ke desa Seduri, Mojosari, lari lagi ke Pekukukan hingga ke Kecamatan Delanggu.

Pergerakan mundur pasukan yang diikuti oleh kelompok Palang Merah 45 tempat Dekik berada ini berlangsung hingga ke kawasan Pegunungan Anjasmoro.

Para anggota Palang Merah 45, saat itu, benar-benar hanya fokus menyelamatkan para pejuang. “Jadi kita itu ndak punya pikiran apa-apa kecuali harus menyelamatkan tentara-tentara itu,” katanya.

Mereka pun tak pandang bulu. Tidak jarang, kata Dekik, mereka juga menyelamatkan pasukan sekutu. Pernah sekali dia merawat pasukan Inggris yang terluka dan harus menjalani opname di pos yang mereka dirikan.

Pada situasi pertempuran seperti itu, di akhir tahun 1945, para pejuang yang bergerilya harus menerima kondisi yang sangat sulit. Terutama dalam hal makanan.

“Zaman itu, waduh, wong makan itu ya seadanya. Wis mari mateng (sudah matang) nasinya, lauknya hanya tempe di kuning itu loh, dimasak kuning itu,” ujarnya. Menu makanan ini hampir setiap hari mereka rasakan.

Sementara, kelompok perawat tempat Dekik berada, yang sebagian besar perempuan, juga tidak memiliki persediaan pakaian yang cukup. “Androk siji, katok siji (BH satu, celana dalam satu),” ujarnya lalu tertawa.

Dekik mengenang, bagaimana sibuknya dia merawat para pejuang. Ketika berada di Balongbendo, Sidoarjo, masih sekitaran akhir 1945, ayahnya meninggal.

Karena terlalu sibuknya menyelamatkan nyawa pejuang saat di Balongbendo, dia tidak mengetahui bahwa ayahnya meninggal dunia. “Ya mau bagaimana lagi, tidak ada komunikasi juga,” ujarnya.

Dekik Moenari, yang telah mendapat tujuh lencana atas jasa kepahlawanannya dan termasuk Veteran golongan A karena berjuang 4,2 tahun berturut-turut. Dia wafat pada 13 September 2014 silam dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jalan Mayjend Sungkono, Surabaya. (den/tit)

Teks Foto:
– Almarhumah Dekik Moenari semasa hidup. Foto: You Tube

Berita Terkait

Surabaya
Rabu, 4 Desember 2024
27o
Kurs