“Dahulu, saat Johannes Guttenberg menciptakan mesin percetakan pada 1450, dunia berubah begitu pesatnya. Injil dicetak sehingga otoritas gereja dipertanyakan oleh rakyat,” ujar Henri Subiakto Guru Besar Komunikasi Unair, saat dikukuhkan, Sabtu (30/5/2016).
Perkembangan teknologi, menurut Henri mengubah sejarah dan kehidupan secara keseluruhan. Pasca mesin cetak, ilmu pengetahuan berkembang begitu cepat.
Kemudian terjadi perkembangan teknologi digital yang diiringi dengan munculnya raksasa bisnis over the top (OTT) terutama di bidang komunikasi dan informasi.
Muncul media sosial Facebook dan twitter yang mengubah cara bersosialisasi. Aplikasi perpesanan seperti Blackberry Messenger, WhatsApp, juga menghapus jarak dan waktu di seluruh dunia.
“Ada OTT di bidang komunikasi seperti Whatsapp dan lainnya. OTT media seperti YouTube, Netflix. OTT e-commerce seperti Lazada dan OLX, serta OTT media sosial,” katanya.
OTT adalah layanan penyedia data maupun informasi yang menggunakan layanan jaringan operator telekomunikasi. Tidak hanya meresahkan operator telekomunikasi, konflik OTT yang belakangan terjadi adalah kisruh Uber Taxi di Jakarta.
Tidak hanya berdampak pada ekonomi, Henri mengatakan perkembangan teknologi informasi ini akan menyeluruh ke bidang-bidang lain. Salah satunya pendidikan.
Munculnya generasi digital native yang akrab dengan dunia ditigal sudah tidak terbendung.
Sementara generasi digital imigrant, orang-orang yang lahir sebelum perkembangan teknologi digital, kesulitan mengikuti gerak zaman.
Terjadilah digital divide (kesenjangan digital) antara generasi digital native dengan generasi digital imigrant.
Dalam dunia pendidikan, para digital native adalah siswa. Sedangkan digital imigrant adalah guru dan orangtua siswa.
Pemerintah sudah berupaya menyesuikan diri dengan perkembangan digital ini. Satu diantaranya, dengan menyelenggarakan ujian berbasis komputer.
Rudiantara Menteri Komunikasi dan Informatika bahkan mengatakan telah menguji coba ujian online dengan menggunakan I-Pad.
Namun, dalam banyak hal, kata Henri tetap saja terjadi jurang perbedaan yang lebar antara dua generasi ini. Salah satunya adalah pola pikir.
“Orangtua kesulitan memantau aktivitas anak-anaknya, termasuk yang buruk, di dunia digital. Sementara anak-anak sendiri tidak mau mengutarakan aktivitasnya kepada orangtua, bahkan mengunci smartphonenya dengan password,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.
Akan terjadi banyak dampak negatif akibat perkembangan teknologi digital yang pesat ini. Tapi banyak pula dampak positif yang ditimbulkan.
Problemnya, Pemerintah sebagai regulator yang mengatur hajat hidup masyarakatnya sebagian besar adalah generasi digital imigrant.
Solusinya, mau tidak mau para digital imigrant harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. “Mengubah mindset. Bagaimanapun juga, harus menyesuaikan,” katanya.(den/dwi)