Penggunaan gas kota yang bisa menghemat lebih banyak subsidi yang diberikan oleh pemerintah, menjadi salah satu pembahasan dalam Lokakarya Media bersama SKK Migas dan K3S Jabanusa di Semarang.
Satya W Yuda anggota Komisi VII DPR RI salah satu pembicara mengatakan, penggunaan gas kota jauh lebih hemat karena menggunakan 40 persen dari subsidi impor pemerintah daripada penggunaan LPG yang mencapai 60 persen subsidi impor.
“Saya melihat bahwa jaringan gas kota menjadi lebih penting daripada sosialisasi penggunaan LPG 3kg ataupun 12kg. Karena LPG menggunakan 60 persen subsidi impor sedangkan gas kota hanya 40 persen,” kata Satya kepada suarasurabaya, di Semarang, Rabu (2/11/2016).
Menurutnya, apabila impor, itu merupakan bentuk ketahanan energi dan bukanlah kemandirian energi. Padahal, katanya, dalam acara ini merupakan bentuk diskusi yang membicarakan tentang kemandirian energi.
Satya menjelaskan perbedaan antara ketahanan dan kemandirian energi. Menurutnya, ketahanan merupakan pemenuhan kebutuhan, yang penting ketersediaan energi. Sedangkan kemandirian energi, kata Satya, merupakan bentuk upaya pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) dalam negeri sendiri.
Selain itu, dia mengatakan, saat ini Surabaya dan Sidoarjo sedang menggalakkan untuk membangun jaringan gas kota. Hal ini diharapkan mengurangi konsumsi LPG oleh masyarakat.
“Kalau dirubah penggunaan menggunakan gas kota, itu lebih murah. Hal itu juga menjadi jalan keluar yang bisa dilakukan,” katanya.
Dia juga mengatakan, natural gas metana (kandungan gas kota), yang diproduksi dalam negeri cukup banyak. Namun, kata Satya, hal itu belum mencukupi kebutuhan gas kota yang diperlukan.
Sementara itu, dia mengakui bahwa Surabaya menjadi kota penemu gas kota ini. Menurutnya, sejak jaman pendudukan Belanda, infrastruktur jaringan gas kota sudah banyak.
Untuk itu, dia mengharapkan PGN sebagai perusahaan negara yang ditugaskan untuk melakukan pembangunan tersebut bisa menambah jaringan distribusinya.
Dia mengatakan, saat ini yang perlu diperhatikan mengenai gas kota yaitu perihal keamanan. Dia berharap, penggunaan gas kota tidak menimbulkan masalah.
“Keamanan yang perlu diperhatikan, jangan sampai jadi masalah. Beda lagi dengan penggunaan LPG, bila ada masalah tinggal dibawa keluar rumah. Namun gas kota bisa jadi berbahaya karena tertanam di dinding dan tanah. Untuk itu, bila tidak dikelola secara baik bisa menjadi masalah,” ujarnya.
Oleh karena itu, nantinya masyarakat ketika menggunakan jaringan gas kota harus menggunakan peralatan SNI. Menurut Satya, tidak sembarang peralatan yang bisa digunakan termasuk peralatan yang dijual di supermarket dengan harga murah. Hal ini yang bisa menjadikan resiko dalam pemakaian gas kota.
Menurut Satya, hal inilah yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat ketika memakai gas kota. Satya mengatakan, gas kota juga bisa dimanfaatkan sebagai penghangat ruang.
“Saya yakin (penggunaan gas kota,red) bisa menekan biaya. Dulu ketika perpindahan dari minyak ke LPG juga ada prosesnya. Saya pikir produknya sama, hanya saja yang berbeda yaitu jenis gas yang beda. LPG menggunakan gas Propene, sedangkan gas kota menggunakan gas metane,” kata Satya. (rst/tit/dwi)