Memupuk keberagaman dan toleransi diantara perbedaan, lewat diskusi kini semakin terasa di Kedai Kreasi yang nota bene awalnya digagas untuk sekadar tempat bertemunya penyuka sastra di Surabaya.
Petang itu diskusi menjadi hangat, lantaran satu diantara pesertanya berkeras bahwa menjaga lingkungan agar tetap bersih dan sehat adalah tugas pemerintah semata dan masyarakat justru yang harus menjadi penikmatnya.
“Rakyat sudah bayar pajak. Mosok masih harus kerja bakti, atau apalah istilahnya. Lagian pabrik-pabrik itu yang mencemari lingkungan. Itu tugas pemerintah, dan rakyat justru harus menikmati lingkungan yang bersih. Ini hak rakyat kan??” ujar sang pemuda bermata sipit.
Tepuk tangan mewarnai diskusi ekologi petang itu di Kedai Kreasi yang berada dikawasan Ketintang Permai, Surabaya. “Awalnya kami memang hanya berkeinginan memberikan ruang bagi penikmat, penyuka dan siapa saja yang bersentuhan dengan sastra. Awalnya seperti itu,” kata Solamrida.
Tapi dalam perkembangannya, Kedai Kreasi atau kerap disebut KK itu, menjadi tempat diskusi membahas apa saja. Musik, film, sastra tentu saja, bahkan komunitas bersepeda pernah memilih tempat itu untuk saling bertukar cerita tentang perjalanan bersepeda menyusuri kawasan indah timur Indonesia.
“Mereka yang hadir kemudian jadi beragam. Bukan hanya penyuka sastra. Dan tentu saja dari berbagai kalangan, berbagai kelompok, komunitas, hingga perbedaan pribadi yang mereka bawa rasanya lebur. Tidak lagi ada pembeda. Mereka berdiskusi, bercanda melalui diskusi-diskui kecil yang digelar,” lanjut Solamrida.
Tidak jarang, beberapa mahasiswa dan mahasiswi hadir untuk mengerjakan tugas kuliah di KK. “Karena nyaman. Dan ada banyak orang yang kesini. Diskusi-diskusinya menarik. Membahas banyak soal. Sastra, musik, film, sampai yang nyerempet politik,” papar Dimas mahasiswa perguruan tinggi di Jl. Dinoyo, Surabaya.
Solamrida sebagai owner sekaligus pengelola KK membenarkan bahwa diskusi yang digelar ditempatnya tidak membatasi siapapun untuk datang. Diumumkan melalui Facebook dan sosial media lainnya.
“Kalau kemudian yang datang berbagai kalangan, tentunya menjadi semakin menarik. Dan kami memang tidak membedakan siapapun yang hadir. Mengapa harus dibedakan kalau misalnya yang datang ke KK naik becak?? atau matanya sipit?? atau kulitnya hitam rambutnya keriting?? sejak awal kami memang tidak ingin membedakan itu,” kata Solamrida.
Kedepan nanti, lanjut Solamrida yang bersama Wina Bojonegoro membangun KK sejak dari lima tahun lalu itu, berkeyakinan bahwa melalui ruang-ruang diskusi yang tercipta di KK menjadi sarana memupuk keberagaman, dan toleransi diantara perbedaan yang jadi makin tajam belakangan ini.(tok/fik/rst)