Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) konsisten menuntut hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik, politisi yang terbukti melakukan praktik korupsi.
Tujuannya, untuk memberikan efek jera, dan menghindari risiko kerugian masyarakat, kalau politisi bermental koruptor itu kemudian jadi pejabat publik.
Febri Diansyah Kepala Biro Humas KPK berharap, pengadilan dan Mahkamah Agung punya komitmen bersama, untuk memberantas korupsi di sektor politik.
“Pencabutan hak politik sudah kami inisiasi sejak beberapa tahun lalu. Sekarang, kami hampir selalu menuntut sanksi tambahan itu kepada terdakwa koruptor dari lembaga politik, baik DPRD, DPR, DPD, juga institusi lain yang terkait sektor politik,” ujarnya di Jakarta, Jumat (30/12/2016).
Sekadar diketahui, tahun ini, sedikitnya ada dua politisi anggota legislatif yang tertangkap KPK, dan dituntut pencabutan hak politiknya.
Mereka adalah, Damayanti Wisnu Putranti anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, dan Muhammad Sanusi anggota DPRD Jakarta Fraksi Gerindra.
Sebelumnya, vonis pencabutan hak politik dikenakan kepada sejumlah politisi, antara lain Luthfi Hasan Ishaaq mantan Presiden PKS, dan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat.
Dalam perkara dua politisi itu, Majelis Hakim Mahkamah Agung yang dipimpin Artidjo Alkostar, mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum dari KPK.
Pengenaan pidana tambahan itu, diatur dalam Pasal 10 KUHP dan Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (rid/iss/ipg)