Abdul Haris Semendawai Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap hasil Konferensi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) yang akan digelar di Jakarta, pada 21-22 November 2016, juga mampu mendorong penerapan Undang-undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 32 Tahun 2014.
Haris mengatakan, UU tersebut sejatinya telah mengakomodir beberapa kebutuhan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban maupun saksi. Hal itu diantaranya adalah masuknya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak sebagai tindak pidana yang korbannya mendapat prioritas perlindungan.
Selain itu, adanya aturan mekanisme yang lebih rinci mengenai pemberian perlindungan kepada saksi dan korban. “Semua perbaikan tersebut merupakan usaha pemenuhan hak anak dalam upaya perlindungan saksi dan korban,” kata Haris seperti dilansir Antara, Minggu (20/11/2016).
Meskipun begitu, dia juga mengatakan, LPSK tetap berharap adanya rasa peduli terhadap pemenuhan hak anak pada para aparat penegak hukum, aparat pemerintahan, dan masyarakat. Hal ini dikarenakan masih sering terjadi perlakuan yang salah dari mereka terhadap anak yang menjadi saksi dan korban.
Menurut Haris, padahal peran serta aparat penegak hukum, aparat pemerintahan, dan masyarakat sesuai perannya masing-masing dapat meringankan beban anak yang menjadi saksi dan korban.
“Jangan sampai anak tersebut menjadi korban untuk yang kesekian kalinya karena salahnya perlakuan terhadap mereka,” katanya.
Sementara itu, Yongki Choi Country Director Gugah Nurani Indonesia mengatakan, Konvensi Hak Anak (KHA) meletakkan standar bersama bagi setiap orang di berbagai belahan dunia. Konvensi juga memberikan perhatian terhadap berbagai perbedaan realitas budaya, sosial ekonomi, dan politik dari negara-negara pihak.
Dengan upaya masing-masing pihak dapat melakukan implementasi hak-hak yang sama bagi semua anak. Dalam penerapan 54 pasal yang terkandung dalam KHA, negara harus berpegang pada prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup, keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
“Pemenuhan dan perlindungan atas hak asasi manusia yang paling mendasar, termasuk bagi anak-anak, sesungguhnya bukanlah hal baru bagi Indonesia, sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945. Instrumen Internasional HAM, dalam hal ini Konvensi Hak Anak mampu berperan sebagai pengingat ketika mekanisme perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia belum berjalan secara baik,” kata Yongki.
Rencana refleksi setelah 25 tahun ratifikasi Konvensi Hak Anak ini akan digelar oleh ECPAT Indonesia bersama Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), JARAK, Rumah Faye dan Gugah Nurani Indonesia di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta. (ant/tit/iss)