Wiwik Widayati Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya mengatakan, sesuai Perda Nomor 5 Tahun 2005 tentang Bangunan Cagar Budaya, rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo harus dibangun lagi oleh pemiliknya.
“Itu sedang kami lakukan. Sesuai dengan Perda, dia harus membangun kembali,” ujarnya kepada wartawan di Pemkot Surabaya, Kamis (5/5/2016).
Bangunan tersebut, kata Wiwik, memang tidak pernah direnovasi sejak 1975. Pada saat Jayanata yang telah membeli rumah tersebut mengajukan renovasi, dia mengakui, Pemkot mengizinkan.
“Iya, izinnya memang renovasi. Karena itu kami akan mendata ulang dan mengintervensi melalui tetenger dan lain sebagainya,” ujarnya.
Wiwik mengaku tidak tahu, rumah itu diratakan dengan tanah hendak dijadikan apa. “Kami tidak tahu, Jayanata berencana akan menjadikan apa,” katanya.
Sementara, Freddy Istanto pemerhati arsitektural Direktur Sjarikat Poesaka mengatakan seharusnya pemkot mengambil langkah tegas yang menimbulkan sanksi jera.
Sebab menurutnya, pembongkaran bangunan cagar budaya tidak hanya sekali ini. Sebelumnya, bangunan sinagog di Jalan Kayun Surabaya juga rata dengan tanah.
“Padahal itu satu-satunya di Indonesia yang melambangkan pluralisme masyarakat Surabaya,” ujarnya.
Langkah tegas yang harus dilakukan, kata Freddy, Pemkot Seharusnya tidak menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan atas tanah bekas bangunan cagar budaya, kepada pemiliknya.
“Izin bangunannya menjadi taman. Sehingga menjadi milik kota Surabaya. Dengan begitu para pemilik bangunan cagar budaya itu kapok,” katanya.
Freddy sangat menyayangkan pembongkaran rumah bersejarah tempat radio pemberontakan Bung Tomo berada. Kini bangunan itu sudah rata dengan tanah.
Padahal dahulu, di rumah itulah Bung Tomo memobilisasi masyarakat Surabaya untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan media radio.(den/iss)