Dua ilmuwan muda Indonesia, Raafi Jaya Sutrisna (17) dan Suprihatin (17), sukses membuktikan bahan baku pesawat dan kapal bisa terbuat dari limbah kulit singkong dan batang pisang.
Temuan mereka ini berbuah medali emas dalam ajang International Young Inventors Project Olympiad (IYIPO) 2016 di Georgia, beberapa waktu lalu, menyingkirkan lebih dari 100 proyek ilmiah milik 35 negara di dunia, seperti Amerika Serikat, Jerman, Slovakia, Bosnia, Denmark dan lainnya.
“Dari banyaknya limbah kulit singkong di kabupaten kami, Pati, Semarang, Jawa Tengah, mencapai 10 ton dalam setiap bulannya. Limbah itu semakin hari semakin menumpuk. Dari situ kami memulai riset kami, dari bahan yang semula limbah menjadi karbon aktif kulit singkong,” ujar Raafi seperti dilansir dari Antara, Jumat (19/8/2016).
Setali tiga uang dengan kulit singkong, batang pisang yang terbuang juga mereka manfaatkan. Batang pisang yang telah dikumpulkan kemudian diambil seratnya satu per satu.
“Kami menggunakan air untuk batang pisangnya, lalu kami ambil seratnya satu per satu. Setelah itu dipotong-potong sekitar dua milimeter,” tutur mahasiswa jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro itu.
Serat batang pisang dan kulit singkong kemudian dicampurkan menggunakan resin dan katalis, sehingga terciptalah komposit sebagai alternatif bahan baku pesawat dan kapal.
“Dari situ serat aktif batang pisang dan kulit singkong kita campurkan menjadi satu menggunakan resin dan katalis. Lalu menggunakan komposit tertentu, jadilah komposit dari limbah batang pisang dan kulit pisang sebagai bahan alternatif industri otomotif kapal maupun pesawat,” kata Raafi.
Komposit yang berasal dari bahan alami ini diklaim lebih efisien, ringan, tahan api dan kuat, sehingga sebenarnya bisa digunakan untuk industri secara luas.
Tiga kali gagal
Selama setahun meneliti, Raafi mengaku mengalami tiga kali kegagalan, salah satunya saat percetakan komposit tak sempurna
“Kami mengalami tiga kali kali percobaan gagal. Salah satunya saat percetakan komposit terdapat void (rongga udara atau lubang), maka diulang lagi, sehingga kami harus sempurnakan. Karena jika banyaknya void pada komposit kami, maka membuat ikatan antar serat dan matrik (kuat dan tariknya) semakin menurun,” kata Raafi.
Saat ini, Raafi mengaku akan terus mengembangkan temuannya agar dapat segera diaplikasikan dalam industri otomotif dan industri secara luas. Tentu tetap menggunakan serat alam berbasis limbah.
“Kami ingin mengembangkan penelitian ini lebih lanjut. Jika berhasil diaplikasikan, Indonesia bisa menjadi produsen pembuatan komposit dari serat alam. Mengurangi penggunaan fiber glass dan menggantinya dengan menggunakan serat alam,” kata Raafi.
Temuan Raafi dan Suprihatin rupanya menarik minat perusahaan penyedia layanan dan teknologi, Bosch di Indonesia.
“Para inventor muda ini telah membuat kami terkesan dengan rangkaian inovasi mereka yang diciptakan untuk mendukung sebuah perubahan dalam industri pesawat, bidang otomotif,” ujar Ralf von Baer Managing director Bosch di Indonesia.
Sebagai bentuk apresiasi, Baer mengatakan telah memfasilitasi kedua ilmuwan muda itu untuk melakukan studi banding ke kantor pusat dan sentra riset serta pengembangan Bosch di Indonesia. (ant/tit/ipg)