Aparat keamanan membutuhkan payung hukum yang lebih jelas, kuat dan lebih komprehensif dalam pencegahan terorisme agar tidak ragu bertindak di lapangan.
UU anti terorisme yang ada sekarang membuat aparat keamanan tidak bisa bertindak cepat. Karena aparat keamanan baru boleh melakukan penangkapan dan penggeledahan setelah kejadian atau memiliki barang bukti.
Di Malaysia, warga negaranya yang ikut mendukung radikalise di negara lain maupun di negaranya sendiri, bisa dipenjara dan dicabut kewarganegaraannya. Di Indonesia belum sampai sejauh itu.
Sambil menunggu payung hukum yang lebih kuat, Presiden memerintahkan Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN dan Kepala BNPT terus meningkatkan sinergi antar lembaga intelijen.
Hilangkan penyakit egosentrisme dan kompartementasi. Presiden ingin komunitas intelijen terus meningkatkan kemampuan kontra teror terutama dalam deteksi dini maupun cegah tangkal aksi teror.
Sebab itu target sasaran harus fokus pada upaya melemahkan pusat kekuatan (center of gravity) terorisme mulai ideologi, kepemimpinan, jejaring organisasi dan pendanaan aksi terorisme.
Presiden juga meminta agar Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kominfo dan BNPT, lebih fokus pada upaya kontra radikalisasi dalam masyarakat serta melanjutkan program deradikalisasi terhadap napi dan mantan napi terorisme.
Kata Presiden, pada pertemuan konsultasi dengan pimpinan lembaga negara yang lalu belum disepakati apakah nanti bentuknya revisi UU terorisme, Perppu atau membuat UU baru. “Perlu dibicarakan lagi dengan DPR,” kata Jokowi Presiden pada rapat terbatas membahas program pencegahan terorisme dan deradikalisasi di kantor Presiden, Kamis (21/1/2016).
Keterlibatan tokoh agama dalam pemberantasan terorisme oleh Presiden dianggap punya arti sangat penting agar bisa mengembalikan pelaku, ke jalan yang lurus dan benar. (jos/dwi)