Virus flu burung avian influenza, ternyata sangat mudah bermutasi karena materi genetik pembentuknya, berupa RNA dengan enzim polimerase yang mempunyai kemampuan proof reading yang rendah dalam proses replikasinya.
Ini merupakan hasil desertasi yang dilakukan drh Iswahyudi MP, Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Hewan, Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Jawa Timur, dalam program doktor studi S3 Sains Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Pengujian desertasi sendiri digelar pada, Senin (30/5/2016) dengan para penguji diantaranya Prof Dr Pudji Srianto drh Mkes; Prof Dr Chairul Anwar Nidom drh MS; Prof Dr Suhartati dr MS; Prof dr rahayu Ernawati drh MSc; Prof Dr Sriagus Sudjarwo drh PhD; dan Dr Hani Plumeriasuti drh Mkes.
Dalam mempertahankan desertasi berjudul “Karakterisasi Asam Amino Virus Flu Burung di Pulau Jawa Periode 2012-2015 sebagai Landasan Pemantapan Kebijakan Pengendalian Penyakit Flu Burung di Indonesia”, Dr drh Iswahyudi MP memaparkan kalau virus flu burung yang menyerang unggas pada 2012-2015 di Pulau Jawa itu diketahui telah mengalami mutasi secara genetik.
“Jadi antara virus flu burung di satu wilayah dengan wilayah lain sudah berbeda dan hal ini menjadi perhatian yang serius,” jelasnya seusai sidang disertasi di gedung Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.
Dia menyebutkan, mutasi virus flu burung ada dua jenis. Pertama, mutasi substitusi yang memungkinkan virus itu menjadi lebih galak alias ganas. Kedua mutasi dilesi. Mutasi jenis kedua ini yang menjadi teka-teki. Karena mutasi dilesi tidak diketahui arah kemana nantinya. Apakah lebih jinak alias lebih tidak mematikan atau justru lebih galak lagi.
“Nah mutasinya virus yang terjadi di Indonesia itu salah satunya disebabkan oleh adanya implementasi kebijakan yang tidak tepat,” kata dia.
Ia mencontohkan implementasi kebijakan yang tidak tepat tersebut seperti vaksinasi. Vaksinasi yang seharusnya dilakukan berulang sebanyak lima kali, implementasinya berbeda. Jumlah unggas yang begitu besar di Indonesia termasuk Jawa Timur menyebabkan pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk pengadaan jumlah vaksin yang tersedia.
“Jumlah vaksin yang tersedia di Jatim yang tertinggi di Indonesia itu pun hanya sampai 5 persen, yang lainnya justru di bawah itu,” kata dia.
Jumlah vaksin 5 persen tersebut mencakup peternakan sektor III skala kecil dan sektor IV. Peternakan sektor IV mencakup unggas yang dipelihara rumah tangga yang jumlahnya mulai dari beberapa ekor hingga 100 ekor. Unggas tersebut bahkan ada yang tidak dikandangkan. Akibatnya potensi tertular virus dari hewan ke manusia lebih besar.
Oleh sebab itu, dalam disertasi ini, dia merekomendasikan masyarakat yang memelihara unggas pekarangan tanpa dikandangkan agar beralih budidaya. Namun, jika tetap ingin memelihara unggas harus dikandangkan.
Dalam kesempatan ini, salah satu penguji desertasi Prof Dr Chairul Anwar Nidom drh MS mengatakan, desertasi dari ini diharapkan bisa menjadi masukkan bagi pemerintah. “Masalah ini menjadi perhatian yang menjadi pehatian utama, tidak hanya masalah Indonesia namun juga masyarakat dunia,” katanya.
Sedangkan sebelumnya Ir Maskur MM, Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur mengucapkan selamat pada Iswahyudi yang telah mendapatkan gelar doktor dan diharapkan mampu memberikan sumbangsih untuk bidang peternakan ke depannya.
Ia mengatakan, dirinya terus mendorong dan memprovokasi tenaga muda di Dinas Peternakan Jawa Timur untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Apalagi desertasi itu berkaitan dengan roadmap pembebasan kasus flu burung di Jawa Timur pada tahun 2020.
“Diraihnya doktor oleh Iswahyudi ini akan menambah kekuatan Disnak Jatim pada khususnya, kalau orang handal menempuh ilmu kesehatan hewan itu harus dipakai pemikirannya,” kata dia. (fik/ipg)