Mengelilingi satu kota yang hancur akibat gempa yang menewaskan 413 orang dan melukai 2.600 orang lebih, Presiden Ekuador Rafael Correa pada Senin (18/4/2016) memikirkan pembangunan kembali yang membutuhkan biaya miliaran dolar dan potensi dampaknya pada ekonomi negara anggota OPEC yang sedang rapuh itu.
Namun para penyintas traumatis, yang bertemu dengan Correa dalam perjalanan kelilingnya dua hari setelah gempa 7,8 Skala Richter, lebih mengkhawatirkan kebutuhan segera karena banyak yang meminta air kepadanya.
Dengan korban jiwa yang kemungkinan akan bertambah serta rumah-rumah yang rata dengan tanah dan jalan-jalan serta jembatan yang rusak, Correa mengingatkan bencana terbesar di Ekuador itu meletakkan beban besar di negara Andes yang miskin tersebut.
“Rekonstruksi akan berbiaya miliaran dolar,” kata Correa di kota yang paling parah terdampak gempa, Portoviejo, tempat para penyintas mengerumuninya untuk meminta bantuan seperti dilansir Antara.
Dampak ekonominya akan sangat besar, ia menambahkan kemudian.
Pertumbuhan ekonomi berpenduduk 16 juta jiwa yang utamanya bergantung pada minyak dan ekspor itu sudah diperkirakan mendekati nol tahun ini karena merosotnya pendapatan dari minyak.
Industri energi tampaknya terhindar dari kerusakan meski kilang utama Esmeraldas ditutup sebagai tindakan pencegahan.
Kendati demikian ekspor pisang, bunga, biji cokelat dan ikan akan melambat karena jalan-jalan rusak dan penundaan di pelabuhan.
Michael Henderson dari perusahaan konsultan risiko Maplecroft mengatakan Ekuador memiliki lebih sedikit pendukung untuk pulih ketimbang Chile, tempat gempa mengakibatkan kerugian 30 miliar dolar AS tahun 2010.
“Sementara ekonomi Chile kembali tumbuh kuat dari krisis finansial Ekuador yang menurun tajam baru-baru ini karena harga minyak yang rendah menekan aktivitas,” katanya.
“Namun total kerusakan aset dalam dolar mungkin agak lebih sedikit dibandingkan di Chile karena kekuatan gempanya lebih kecil dan fakta bahwa Ekuador adalah negara yang jauh lebih miskin,” katanya seperti dikutip kantor berita Reuters. (ant/dwi)