Peristiwa perobekan bendera belanda di Hotel Oranje, Surabaya hingga kini masih dikenang sebagai momen heroik simbol semangat kepahlawanan bagi warga Surabaya. Namun, seringkali perobekan Bendera Belanda ini dipahami sebagai peristiwa yang terjadi di sekitaran 10 November 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Padahal peristiwa perobekan ini berlangsung hampir dua bulan sebelum bombardir sekutu atas Surabaya.
Bung Tomo dalam bukunya berjudul 10 November menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada 18 September 1945. Peristiwa diawali dengan kembalinya Belanda dari pengasingan dan hendak merayakan Hari Jadi Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus dengan mengibarkan bendera Belanda. Pemuda Indo Belanda dengan sikap congkak mengejek rakyat Indonesia. Mereka bersiul, bernyanyi, serta mengejek secara demonstratif dengan bergerombol mengendarai sepeda.
Perilaku pemuda Indo Belanda ini memunculkan kecurigaan dan kewaspadaan rakyat dan pemuda di Surabaya. Apalagi, mereka juga sempat merusak plakat-plakat dan semboyan-semboyan kemerdekaan yang tertempel di dalam Kota. Pria bernama asli Soetomo ini mengatakan, hal inilah yang membuat situasi saat itu mulai memanas. Hingga akhirnya peristiwa berdarah 18 September di hotel Oranje itu terjadi.
“Biang keladinya adalah dua orang Belanda, Ploegman dan Spit. Dengan tanpa alasan dikibarkanlah si tiga warna di atas Hotel Oranje. Perbuatan tersebut tampaknya telah direncanakan terlebih dahulu. Hal ini terbukti dengan banyaknya pemuda Belanda yang berada di sekitar hotel tersebut pada saat dan setelah bendera itu dikibarkan,” ujar Bung Tomo dalam bukunya.
Sementara William H Frederick seorang peniliti sejarah asal Amerika Serikat berpendapat berbeda. Dia menjelaskan bagaimana orang-orang Indo Belanda yang kembali dari pengasingan (interniran) membentuk sebuah Komite Kontak Sosial yang dipimpin oleh V.W.Ch Ploegman.
“Pada pagi hari tanggal 19 September 1945, beberapa kelompok kecil bekas interniran berkumpul di dekat Hotel Oranje dan markas besar Palang Merah di seberang jalan. Agaknya, banyak di antaranya adalah anak-anak muda Belanda dan Indo yang menghendaki pertikaian. Mereka bersenjatakan rantai besi. pompa sepeda, dan senjata-senjata semacam itu,” ujar Frederick dalam bukunya.
Baik Bung Tomo dan Frederick sepakat, saat itu muncul sekelompok rakyat dan pemuda di depan Hotel Oranje yang bereaksi atas berkibarnya Bendera Belanda di pucuk Hotel Oranje. Bung Tomo menyebutkan, rakyat datang berbondong-bondang membawa senjata baik bambu runcing hingga celurit. Sementara Frederick menggambarkan, sekelompok orang Indonesia yang sebagian besar pelajar dan guru-guru muda berkerumun di depan hotel. Mereka segera berhadapan dengan barisan serdadu Jepang (Kenpetay).
Batu-batu mulai beterbangan. Suara tembakan terdengar dari balik hotel. Tiba-tiba beberapa pemuda Indonesia yang melihat orang-orang Belanda dan Indo masuk ke dalam hotel, melabrak ke dalam bangunan tersebut untuk berkelahi dengan mereka dan berusaha menjangkau bendera Belanda. Bung Tomo menyebutkan, Ploegman tewas dalam peristiwa itu. Frederick secara lebih detail menjelaskan, Ploegman meninggal beberapa hari kemudian di Rumah Sakit Kotapraja setelah dipukul dengan sebatang pipa.
Pada saat itu, sejumlah pemuda berhasil menguasai bagian luar bangunan hotel mencapai tiang bendera, menurunkan Bendera Belanda lantas merobek warna birunya sehingga tertinggal warna merah putih. Bendera Indonesia kemudian dikibarkan kembali oleh Arek-arek Suroboyo. Saat masih terjadi kekisruhan di sekitar Hotel Oranje, Sudirman Residen Surabaya tiba ke lokasi untuk membubarkan massa.
Bung Tomo mengisahkan, saat itu dia mendapati suasana rakyat yang belum puas hanya dengan perintah “Bubar!” Maka dia pun membimbing mereka bernyanyi lagu Indonesia Raya. “Naiklah aku ke atas loteng kantorku. Kuajak rakyat menyanyikan lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya. Setelah puas menumpahkan perasaan dalam irama lagu, barulah dengan gembira dan tenang mereka meninggalkan Jalan Tunjungan,” katanya.
Peristiwa perobekan Bendera Belanda di Hotel Oranje sampai saat ini masih menyisakan tanda tanya. Siapa saja orang-orang yang telah melakukan perobekan tersebut. Baik dalam Buku Bung Tomo maupun Dr Frederick, keduanya tidak menyebutkan nama, siapa perobek bendera tersebut. Meski demikian, semangat mempertahankan kemerdekaan yang tersirat dari peristiwa memang perlu menjadi teladan bagi pemuda Arek-arek Suroboyo sampai masa kini.
Terkait perbedaan tanggal peristiwa perobekan bendera, Pemerintah Kota Surabaya telah menetapkan tanggal 19 September 1945 sebagai tanggal peristiwa itu dan kini selalu diperingati dengan melakukan rekonstruksi perobekan bendera. (den/fik)