Fahmi Hafel Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring mendesak Gubernur Papua Barat dan Bupati Sorong untuk segera menghentikan pembalakan liar dan patuh terhadap UU yang berlaku. Jika tidak, pihaknya tak segan segan untuk melaporkan ledua pejabat itu ke Ombudsman.
“Cabut segera Perbup dan Perda Kabupaten sorong yang melindungi praktek-praktek ilegal logging oleh PT Rotua. Tindakan kedua pejabat tersebut termasuk PT. Rotua membahayakan masa depan lingkungan Papua Barat,” ujar Fahmi dalam siaran pers yang diterima wartawan, Rabu (20/4/2016)
Selain ke Ombudsman, Fahmi mengatakan pihaknya juga akan melaporkan Bupati Sorong Ke KPK karena diduga memiliki kaitan antara penerbitan izin dengan praktek ilegal logging PT Rotua dan pencucian uang hasil pembalakan liar.
“Ngotot-nya Bupati Sorong untuk tidak mencabut perbup dan Perda Kabupaten sorong terkait PT Rotua diduga ada Kong kalikong antara Bupati dan PT Rotua, dan diduga ada aliran dana panas yang jumlahnya ratusan miliar rupiah,” kata dia.
Lebih jauh, Fahmi menjelaskan berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung, Labora Sitorus selaku pemilik PT Rotua di kota Sorong, Provinsi Papua Barat yang merupakan pemegang industri lanjutan terbukti bersalah melakukan antara lain tindak pidana pembalakan liar dan sekarang sedang menjalani hukuman penjara.
Tapi anehnya, hingga saat ini PT Rotua masih terus beroperasi padahal sudah dilarang untuk menerbitkan dokumen penatausahaan hasil hutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.41/Menhut-II/2014 yang disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Walikota Sorong melalui surat pada tanggal 25 Februari 2015 lalu.
Terus beroperasinya PT Rotua dikarenakan pasokan bahan bakunya di bagian hulu masih terus mengalir dengan memanfaatkan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) untuk memenuhi pembangunan fasiltas umum kelompok masyarakat setempat dan untuk memenuhi keperluan individu yang izinnya diberikan oleh Bupati melalui Peraturan Daerah No 6 tahun 2008.
“Disamping itu Bupati Sorong juga mengeluarkan Peraturan Bupati No 400 tahun 2008 tentang Tempat Penampungan Kayu Terdaftar (TPKP) Hasil Hutan Kayu Masyarakat di Kabupaten Sorong dimana TPKT wajib untuk membeli seluruh kayu hasil produksi IPHHK,” kata Fahmi.
Menurut dia, setelah dikaji lebih jauh ternyata kedua peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 Jo. No 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Pertentangan tersebut adalah bahwa di dalam PP No 6 tahun 2007 pasal 45 disebutkan pemungutan hasil hutan kayu dari hutan alam pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas umum pada kelompok masyarakat setempat paling banyak 50 m3 dan tidak untuk diperdagangkan dan atau untuk kebutuhan individu paling banyak 20 m3 dan tidak untuk diperdagangkan.
Fahmi menilai, atas dasar kajian tersebut dan sesuai dengan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan Peraturan Daerah dan Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi maka Direktorat Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah bersurat kepada Gubernur Provinsi Papua Barat pada tanggal 17 Maret 2016 untuk mencabut kedua peraturan tersebut.
“Ini adalah waktu yang tepat bagi Gubernur Papua Barat di akhir jabatannya untuk secara tegas menghentikan kegiatan pembalakan kayu liar dengan modus seperti diatas. Pencabutan perda ini selaras dengan instruksi Presiden Joko Widodo untuk mencabut sekitar 3.200 perda bermasalah yang ditargetkan harus selesai pada bulan Mei mendatang,” ujar dia.(faz/dwi)