Disharmonisasi mengenai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 tahun 2016 dan Undang Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pertanahan ternyata banyak menuai polemik. Masalah biasanya timbul saat proses pembebasan lahan kas desa untuk pembangunan infrastruktur umum khususnya jalan tol.
“Untuk pembebasan lahan tol ada banyak permaslahan disharmonisasi ini. Panitia Pengadaan Tanah masih bingung apakah menggunakan permendagri atau undang-undang,” kata Suprianto Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Umum Setdaprov Jatim, saat Focus Group Discussion tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, di Hotel Papilio Surabaya, Kamis (17/11/2016).
Suprianto menjelaskan, dalam permendagri itu dijelaskan, ganti rugi untuk tanah kas desa diperbolehkan menggantinya dengan uang. Namun dalam UU tidak diperbolehkan mengganti tanah kas desa dengan uang. “Permasalahan ini jadi tarik ulur di bawah. Mana yang dipakai ?,” ungkapnya.
Mengurai permasalahan ini, Suprianto mengatakan, Pantia Pengadaan Tanah harus berpegang pada UU 2 tahun 2012. Yakni tidak diperbolehkan mengganti rugi tanah kas desa dengan uang. Harus menggantinya dengan tanah pula.
“Boleh mengganti tanah meski tidak di sstu desa yang bersangkutan. Maksudnya tanah ganti rugi itu boleh di luar desa. Tadi saya tegaskan demikian. Jadi permasalahan ini sudah clearkarena selama ini masih ada perdebatan di bawah,” kata mantan Kepala Biro Hukum Setdaprov Jawa Timur ini.
Tak hanya permasalahan itu, di bawah juga terdapat permaslaahan tanah instansi apakah perlu diganti rugi atau tidak. Permasalahan ini juga menjadi tarik ulur saat pembebasan dilakukan. Ada pihak yang menyatakan perlu diganti, ada yang menyebut tidak perlu.
“Yang dimaksud tanah instansi ini adalah milik pemda, BUMN dan BUMD. Permaslahan ini, tanah instansi yang tidak ada bangunannya tidak perlu diganti. Tapi jika tanah itu ada bangunannya walaupun kecil, harus tetap diganti rugi. Yang diganti rugi adalah bangunan kecil itu, bukan tanahnya,” ujarnya.
Sementara mengenai tanah negara bebas, juga tidak perlu diganti rugi walaupun tanah negara bebas itu dimanfaatkan warga untuk menanam padi atau sejenisnya. “Yang perlu diganti bukan tanahnya, tapi tanamannya. Caranya dengan melakukan penghitungan,” katanya.
Warga yang memanfaatkan tanah negara bebas itu, lanjutnya, tidak perlu mendapat ganti rugi tanahnya, tapi hanya tanamannya yang diganti. “Permasalahan ini pernah terjadi di Lamongan. Saat pemerintah mau membuat waduk, tanah negara bebas ini dimanfaatkan warga untuk menanam padi dan jagung. Saat pembebasan warga minta ganti rugi . Ya tidak bisa. Pemerintah hanya berhak mengganti rugi tanamannya saja,” pungkasnya. (Fik)