Kamis, 4 Juli 2024

17 Tahun Warga Kampung Ini Tidak Bisa Mengakses Air Bersih

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Patok batas tanah sengketa yang menyebabkan sulitnya PDAM masuk ke kampung tersebut, Selasa (2/9/2016). Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net

Joko Salamun, seorang nelayan di kampung Keputih Timur Pompa Air, Kelurahan Keputih, Sukolilo, Surabaya mengakui, harus membeli air dengan gledekan (gerobak dorong) yang bisa memuat jeriken 20 liter air bersih dari kampung sebelah.

Memang tidak terlalu jauh, apalagi aktivitas membeli air bersih ini sudah berlangsung sangat lama. Joko yang tinggal bersama istrinya, sedangkan anak-anaknya bekerja di luar pulau itu mengaku sudah terbiasa.

“Kalau saya, untuk kebutuhan keluarga di rumah, satu gledekan itu habis sehari. Ya mau bagaimana lagi,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Rabu (21/9/2016).

Joko harus membayar satu gledekan air itu seharga Rp20 ribu. Sehingga, dia harus mengeluarkan biaya Rp600 ribu per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih keluarganya.

Padahal, penghasilan Joko yang nelayan, tidak seberapa. Demikian halnya 200 kepala keluarga lain yang ada di delapan RW kampung Keputih Timur Pompa Air.

Hendrix Kurniawan, Warga Keputih Timur Pompa Air yang memperjuangkan keberadaan air bersih di kampungnya mengatakan, sudah sejak 17 tahun lalu warga di sana tidak bisa mengakses air bersih.

“Warga sebenarnya sudah mengajukan berkali-kali. Dari tahun 2009 lalu, kemudian tahun 2012. Kami sampai mengajukan ini ke partai (politik,red). Tetap tidak bisa tembus,” ujarnya.

Menurut Hendrix, PDAM Surya Sembada sebagai Badan Usaha Milik Pemkot Surabaya sebenarnya mau memasang jaringan itu. Tapi ada kendala sehingga PDAM tidak bisa segera masuk ke kampung itu.

Kendalanya, tanah yang ditempati warga bukan tanah milik Pemkot Surabaya. Menurut Hendrix, tanah itu milik Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur.

Hendrix mengklaim, warga juga sudah memegang izin pemakaian tanah sempadan saluran keputih kejawan itu, dari Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur nomor 503.593.1/0011/111.3/2016.

Hanya saja, Yuli Utomo Lurah Keputih meyakini, tanah yang ditempati warga di Kampung Keputih Timur Pompa Air masih berbatasan dengan tanah milik PT Pakuwon Jati Tbk.

Karena itulah, Yuli tidak bisa memberikan tanda tangan izin pemasangan jaringan pipa tersier PDAM di kampung itu. Padahal salah satu syarat administratif dari PDAM adalah tanda tangan lurah setempat.

“Itu, begini lho. Sertifikat (tanah,red) Pakuwon (Pakuwon Jati Tbk) Ada di sana,” ujar Yuli ketika dikonfirmasi oleh suarasurabaya.net pada hari yang sama.

Yuli mengatakan, dia lebih suka pihak-pihak yang berkaitan dengan kepemilikan tanah, yakni PT Pakuwon Jati Tbk, Dinas PU Pengairan Provinsi Jatim, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya, bertemu di satu meja.

“Saya tidak ingin di sisi lain nanti menjadi boomerang bagi saya. PU Pengairan Provinsi juga sudah menyampaikan, nanti akan diundang lagi untuk bertemu. Makanya, saya tidak bisa menyetujui dulu,” katanya.

Selasa pagi, perwakilan dari seluruh pihak di atas memang telah mendatangi lokasi Kampung Keputih Pompa Air untuk meninjau batas kepemilikan tanah antara PT Pakuwon Jati Tbk dengan milik PU Pengairan Provinsi Jatim.

“Minggu depan diundang lagi untuk bertemu, melakukan pengukuran kembali batas-batas tanah. Bagaimana keputusannya, menunggu pertemuan itu,” ujarnya.

Ari Bimo Sakti Manajer Sekretariat dan Humas PDAM Surya Sembada membenarkan, PDAM tidak bisa masuk ke wilayah yang tanahnya masih dalam sengketa.

Selain itu, Bimo juga membenarkan harus ada tanda tangan dari lurah setempat sebagai persyaratan administratif pembangunan pipa tersier PDAM.

“Sebenarnya, PDAM memang tidak mempermasalahkan, tanah siapapun asalkan warga mempunyai izin dari pemiliknya. Tanda tangan lurah itu memang sebagai syarat administratif,” ujar Bimo.

Warga yang gerah dengan kebijakan lurah ini telah melaporkan masalah pemasangan pipa tersier air bersih ini kepada Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur.

Baik Lurah, serta perwakilan Bidang Pemerintahan Pemkot Surabaya, serta PDAM Surya Sembada, juga sudah bertemu dengan Ombudsman RI Perwakilan Jatim.

Agus Widyarta Ketua Ombudsman RI Perwakilan Jatim mengatakan, warga memang melaporkan hal ini kepadanya. “Laporan masuk ke kami, dan kami tindaklanjuti. Kami panggil lurah, juga Bidang Pemerintahan Pemkot Surabaya. Jawabannya sama, karena ada sertifikat Pakuwon. Ya saya tanya, apa itu tidak salah,” ujar Agus.

Agus mempertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi? Sebab menurutnya, kalau memang pengelolaan tanah itu ada pada Dinas PU Pengairan Provinsi Jatim, bagaimana bisa PT Pakuwon memiliki sertifikat tanah di sana.

“Kami menyimpulkan, harus ada kepastian. Apakah memang tanah pakuwon atau tidak? Dan kami berpendapat, pelayanan air bersih itu tetap bisa diberikan,” ujarnya.

Ombudsman RI Perwakilan Jatim memberikan waktu kepastian hal itu hingga Selasa (20/9/2016) lalu. Namun, jawabannya, Pemkot masih akan akan mengkoordinasikan hal ini dengan pihak terkait.

“Kami berikan waktu lagi sampai minggu depan. Kami akan monitoring lagi, minggu depan. Tapi prinsip kami, pelayanan (air bersih,red) itu tetap bisa diberikan,” katanya.

Menurut Agus, PDAM tidak mempermasalahkan kepemilikan tanah. Walaupun tanah itu ternyata milik Pakuwon, nantinya jaringan itu juga akan menjadi milik Pakuwon.

“Kalau memang jawabannya minggu depan tetap sama, ya kami keluarkan rekomendasi untuk Pemkot Surabaya. Karena prinsip kami, pelayanan itu tetap bisa diberikan,” ujarnya.

Menurutnya, sangat ironis di kota seperti Surabaya, masih ada warga yang tidak bisa mengakses air bersih hingga belasan tahun lamanya.(den/rst)

Berita Terkait

..
Surabaya
Kamis, 4 Juli 2024
27o
Kurs