Sebanyak 14 peneliti dari Avian Influenza Research Center (AIRC) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya meneliti sampel virus flu H5N1 atau flu burung yang kembali merebak di sejumlah wilayah Jawa Timur (Jatim).
Dr drh Chairul Anwar Nidom MS Kepala AIRC Unair, di Surabaya, Minggu mengatakan telah menerjunkan 14 peneliti untuk mengambil sampel virus di dua lokasi yaitu Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Banyuwangi.
Namun, kemungkinan lebih lanjut juga akan meneliti di beberapa lokasi lainnya yang diduga telah terjangkit virus H5N1.
“Kami telah bekerja sama dengan Dinas Peternakan Jatim karena flu burung kembali merebak di sejumlah daerah di Jatim. Kami akan menganalisis sampai seberapa jauh perubahan atau mutasi pada tubuh virus, termasuk apakah ada potensi virus untuk berubah pindah ke manusia,” katanya, seperti dilansir Antara.
Ia mencontohkan pada pengambilan sampel virus flu burung dengan mengambil 20 spesimen sampel dari tubuh penjual unggas di pasar tradisional dan peternak ayam di sekitar lokasi kejadian.
“Sebanyak 7.000 unggas jenis itik, ayam, dan mentok di satu dusun di Banyuwangi dan 600 lainnya di satu desa di Lamongan dilaporkan positif mati karena virus flu H5N1, namun untuk kabupaten/kota lainnya kami masih menunggu laporan dari Dinas Peternakan Jatim,” kata dia.
Menurut dia, ada laporan bahwa seorang peternak di Banyuwangi sempat diperiksa karena ikut sakit dan diduga terjangkit zoonosis atau penyakit yang berasal dari hewan, namun pihaknya sudah memastikan yang bersangkutan tidak terjangkit flu burung.
“Saya meminta pemerintah mengawasi penggunaan vaksin terhadap ternak unggas. Penggunaan vaksin flu burung yang tidak terkendali ditengarai sebagai pemicu merebaknya kembali penyakit tersebut di Indonesia,” kata guru besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair itu.
Menurut dia, penularan bisa terjadi melalui berbagai medium yaitu air, udara, kontaminasi melalui lalu lintas orang dan kendaraan, termasuk metode angon.
Metode angon yang dimaksud terkait hewan yang kosong atau tanpa antibodi karena tidak divaksin, bisa bertemu dengan hewan yang sudah divaksin.
“Di Indonesia masih berkembang pemahaman mengenai pemberian vaksin yang tidak tepat. Masyarakat beranggapan bahwa vaksinasi seperti memberi vitamin pada hewan, kapan pun dan berapa kali pun diperbolehkan, sehingga berpengaruh terhadap penentuan anggaran di pemerintah daerah,” kata dia.
Menurut Nidom, anggaran dana yang tidak tepat juga menjadi pemicu penyalahgunaan vaksin. Pada waktu pengajuan anggaran, tidak jarang pemerintah hanya menyetujui sebagian dari populasi ternak yang seharusnya diberi vaksin.
“Pengawasan penggunaan vaksin tidak kalah penting dibandingkan pemberian vaksin pascakejadian terhadap ternak unggas. Seharusnya pencegahan penyakit tidak bergantung pada anggaran dana, tetapi bergantung pada risiko penyakit itu sendiri,” tandasnya.(ant/iss/dop)