Bank Indonesia Senin (19/12/2016) hari ini, meluncurkan satu seri uang Rupiah Tahun Emisi (TE) 2016 yang terdiri dari tujuh pecahan uang kertas dan empat pecahan uang logam dengan gambar pahlawan.
Ada gambar 12 pahlawan nasional yang dipasang di uang-uang baru ini. Dan berikut beberapa pahlawan nasional yang terpasang berikut peran mereka di eranya.
1. Soekarno dan Mohammad Hatta, Presiden dan Wakil Presiden pertama RI. Gambar tokoh proklamasi ini diabadikan dalam pecahan Rp100.000.
Dua tokoh ini sudah sangat terkenal karena peran mereka sebagai Bapak Proklamator. Bahkan, gambar Soekarno sendiri tidak kali ini saja dipasang di mata uang.
Setidaknya ada beberapa mata uang lama yang juga telah menggunakan gambar sang proklamator diantaranya pecahan
Rp2,5 warna biru pada tahun 1961; Rp1 pada tahun 1964; Rp50 warna coklat pada 1960; Rp1000 warna coklat pada tahun 1960; Rp1000 warna hijau pada 1964; Rp1000 warna merah pada tahun 1964. Uang jenis ini dikenal oleh sebagian masyarakat dengan uang gaib karena berbahan khusus dan bisa melengkung sendiri jika terkena panas.
Selain itu juga Rp2500 warna hijau pada tahun 1964; Rp10.000 warna merah tahun 1964; serta beberapa nominal lainnya.
Sedangkan gambar Mohammad Hatta sendiri, juga sangat sering terpasang di mata uang Indonesia. Diantaranya pada pecahan mata uang Rp100.000 dimana gambar Mohammad Hatta bersamaan dengan gambar Soekarno.
2. Djuanda Kartawidjaja, saat ini dipasang pada pecahan Rp50.000
Ir. Raden Haji Djoeanda Kartawidjaja, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 dan meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional atau pahlawan kemerdekaan nasional.
3. Sam Ratulangi, saat ini diabadikan dalam uang pecahan Rp20.000.
Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi, lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890 dan meninggal di Jakarta, 30 Juni 1949 pada umur 58 tahun, adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia dari Sulawesi Utara, Indonesia.
Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut-sebut sebagai tokoh multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya: “Si tou timou tumou tou” yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Sam Ratulangi juga merupakan Gubernur Sulawesi yang pertama. Ia meninggal di Jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh pada tanggal 30 Juni 1949 dan dimakamkan di Tondano. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Manado yaitu Bandara Sam Ratulangi dan Universitas Negeri di Sulawesi Utara yaitu Universitas Sam Ratulangi.
4. Frans Kaisepo menjadi gambar utama dalam uang kertas pecahan Rp10.000
Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1912 dan meninggal di Jayapura, Papua, 10 April 1979 pada umur 66 tahun, adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua.
Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia mengusulkan nama Irian, kata dalam bahasa Biak yang berarti beruap. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Papua antara tahun 1964-1973.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak.
5. KH Idham Chalid diabadikan pada uang kertas Rp5.000
Dr. KH. Idham Chalid, lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921 dan meninggal di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 88 tahun, adalah salah satu politisi Indonesia yang berpengaruh pada masanya.
Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua DPR. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan ia pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956-1984.
6. Mohammad Hoesni Thamrin menjadi gambar pada uang pecahan Rp2.000
Mohammad Husni Thamrin, lahir di Weltevreden, Batavia, 16 Februari 1894 dan meninggal di Senen, Batavia, 11 Januari 1941 pada umur 46 tahun, adalah seorang politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia.
Munculnya Muhammad Husni Thamrin sebagai tokoh pergerakan yang berkaliber nasional tidaklah tidak mudah. Untuk mencapai tingkat itu ia memulai dari bawah, dari tingkat lokal. Dia memulai geraknya sebagai seorang tokoh lokal Betawi.
Sejak muda, dia telah memikirkan nasib masyarakat Betawi yang dilihatnya. Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat jelata. Malah dia sangat dekat dengan mereka. Sebagaimana anak-anak sekelilingnya, dia pun tidak canggung-canggung untuk mandi bersama di Sungai Ciliwung. Dia tidak canggung untuk tidur bersama mereka.
7. Tjut Meutia diabadikan pada uang kertas Rp1.000.
Tjoet Nyak Meutia adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.
Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechause di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechause di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
8. I Gusti Ketut Pudja untuk uang logam Rp1.000
I Gusti Ketut Pudja lahir 19 Mei 1908 dan meninggal 4 Mei 1977 pada umur 68 tahun, adalah pahlawan nasional Indonesia. Ia ikut serta dalam perumusan negara Indonesia melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mewakili Sunda Kecil saat ini Bali dan Nusa Tenggara.
I Gusti Ketut Pudja juga hadir dalam perumusan naskah teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Ia kemudian diangkat Soekarno sebagai Gubernur Sunda Kecil. Pada tahun 2011, I Gusti Ketut Pudja ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional bersama 6 orang lainnya.
9. TB Simatupang pada uang logam Rp500
Letnan Jenderal TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang atau yang lebih dikenal dengan nama T.B. Simatupang lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920 dan meninggal di Jakarta, 1 Januari 1990 pada umur 69 tahun, adalah seorang tokoh militer dan Gereja di Indonesia.
Simatupang pernah ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KASAP) setelah Panglima Besar Jenderal Soedirman wafat pada tahun 1950. Ia menjadi KASAP hingga tahun 1953. Jabatan KASAP secara hirarki organisasi pada waktu itu berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara dan berada di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan.
Simatupang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada tanggal 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada TB Simatupang. Saat ini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan besar di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
10. Tjiptomangunkusumo pada uang logam Rp200
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo lahir di Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, 1886 dan meninggal di Jakarta, 8 Maret 1943, adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai “Tiga Serangkai” yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda.
Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam “Tiga Serangkai” yang kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda. Ia wafat dan dimakamkan di TMP Ambarawa.
11. Herman Johannes pada uang logam pecahan Rp100.
Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, sering juga ditulis sebagai Herman Yohannes atau Herman Yohanes lahir di Rote, NTT, 28 Mei 1912 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Oktober 1992 pada umur 80 tahun, adalah cendekiawan, politikus, ilmuwan Indonesia, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia pernah menjabat Rektor UGM (1961-1966), Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti) tahun 1966-1979, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI (1968-1978), dan Menteri Pekerjaan Umum (1950-1951). (fik)