Semburan lumpur panas Lapindo di Porong Sidoarjo genap berusia 10 tahun pada 29 Mei 2016 mendatang. Fenomena ini hendaknya menjadi momentum bagi negara untuk melakukan evaluasi kebencanaan terutama pada orientasi penanggulangan bencana.
“Semburan lumpur Lapindo menunjukkan bahwa kita telah membodohi anak cucu kita jika mengatakan semburan ini adalah fenomena alam,” kata Amien Widodo, Kepala Pusat Studi Kebencanaan dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, ketika berbincang dengan suarasurabaya.net
Dengan mengatakan bencana lumpur sebagai fenomena alam, maka kita tidak akan pernah belajar bagaimana menanggulangi dan mengantisipasi jika terjadi semburan-semburan serupa. Padahal, tak hanya dampak sosial, dampak lingkungan akibat semburan lumpur hingga kini juga masih terus terjadi dan dirasakan masyarakat.
Di sisi utara dan timur dari tanggul lumpur misalnya, pencemaran air dan tanah masih terus terjadi sehingga masyarakat saat ini juga tak bisa lagi memanfaatkan tanah untuk pertanian. “Garam dan sulfat yang terkandung di semburan lumpur menjadikan tanah pertanian mati dan air tanah tak bisa lagi dimanfaatkan untuk mandi,” kata Amien.
Tak hanya pencemaran, amblesan tanah juga masih terus terjadi, bahkan amblesan tanah kata terjadi sekitar 5 cm tiap bulannya. Amblesan ini juga terjadi melingkar hingga radius 2 km dari tanggul penahan lumpur.
Pemerintah, kata Amien, harusnya meniru upaya amerika saat terjadi pencemaran di Teluk Meksiko. “Saat itu Obama langsung mengambil alih seluruh aset perusahaan pencemar sehingga semula langkah diambil alih pemerintah. Pemerintah juga open bagi peneliti, sehingga pencemaran di Teluk Meksiko bisa jadi pembelajaran yang berarti bagi semuanya,” kata Amien. (fik/ipg)