Warga pemilik surat ijo yang tergabung dalam Gerakan Pejuang Hapus Surat Ijo Surabaya (GPHSIS) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (24/4/2015) lalu. Mereka meminta MK untuk melakukan tafsir konstitusional agar tanah yang tidak digunakan oleh Pemda tidak bisa diklaim milik Pemda.
Muhammad Sholeh-Kuasa Hukum warga pemilik surat ijo mengatakan bahwa upaya pengajuan gugatan ke MK tersebut adalah upaya pertama kali. Ini dilakukan setelah beberapa kali warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negeri mengalami kekalahan.
“Padahal secara kasat mata ada pencaplokan, ada pengklaiman tanah warga oleh Pemerintah Kota,” ujarnya kepada wartawan di lapangan futsal Dukuh Kupang III, Sabtu (2/5/2015).
Kali ini tim kuasa hukum warga pemilik surat ijo memiliki rumusan hukum. Yaitu pasal 7, pasal 9 butir 2, dan pasal 17 butir 1-4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketiga pasal tersebut intinya menyatakan bahwa kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan, serta setiap warga negara Indonesia memunyai kesempatan sama memperoleh hak atas tanah.
Pada pasal 19 disebutkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan luas maksimum dan minimum tanah, pembagian tanah yang melebihi batas oleh pemerintah kepada rakyat yang membutuhkan, dan pengaturan batas minimum dan maksimum tanah dengan peraturan perundangan.
“Berdasarkan pasal-pasal itu, kepemilikan tanah baik perorangan maupun badan hukum harus dibatasi,” kata Sholeh.
Namun, berdasarkan catatan GPHSIS, Pemkot Surabaya hingga kini memiliki tanah surat ijo sebanyak 12,42 juta meter persegi atau sekitar 124,21 hektare lebih. “Tanah itu tidak dipakai, tidak ditempati, juga tidak dikuasai oleh Pemkot Surabaya. Yang menguasai dan menempati warga,” kata pria yang juga merupakan Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Timur ini.
Karena itulah warga yang tergabung dalam GPHSIS dengan tim kuasa hukumnya menuntut MK untuk melakukan tafsir konstitusional. Tafsir ini, kata Sholeh, diharapkan memunculkan keputusan bahwa tanah milik Pemerintah Daerah adalah tanah yang digunakan oleh instansi-instansi Pemda.
“Kalau tidak digunakan tidak boleh diklaim kepemilikannya,” tegas Sholeh. Ini, sambung Sholeh, agar Pemda tidak berfungsi seperti negara yang bisa menyewakan tanah kepada siapa saja.
Sementara itu, Sholeh juga mengkritik Perda Nomor 16 Tahun 2014 tentang pelepasan tanah yang tidak memihak warga. “Alih-alih melepaskan tanah, itu jual beli. Di situ disebutkan untuk melepaskan tanah warga harus mengganti 100 persen dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak, red). Kalau memang Pemkot punya rasa iba terhadap warganya, jangan segitu dong,” ujarnya.
Setidaknya, ada pengurangan beban penggantian tanah itu. Misalnya, kata Sholeh, pengurangan 10 persen dari NJOP. “Kalau 100 persen itu bukan pelepasan. Dalih wali kota berkaitan dengan undang-undang perbendaharaan negara. Kita enggak mau tahu. Yang penting ini tanah warga, mestinya dikembalikan kepada warga,” katanya.
Bila keputusan MK memenangkan gugatan warga, maka tanah tersebut akan menjadi tanah negara. Apabila itu merupakan tanah negara, Sholeh menjelaskan, maka siapapun punya hak untuk memiliki. “Sudah 14 tahun warga berjuang ke Pemkot dan nyatanya tidak mendapat apa-apa,” katanya. (den/dop/wak)