Sri Mulyani Indrawati mantan Menteri Keuangan mengajukan permohonan kepada Badan Reserse Kriminal Polri agar diperiksa di kantor Kementerian Keuangan. Hal tersebut dinyatakan Direktur Tindak Pidana Khusus Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak, Senin (8/6/2015).
Victor menuturkan, awalnya penyidik Bareskrim telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Sri, Rabu (10/6/2015) mendatang. Namun, karena Direktur Pelaksana Bank Dunia itu harus kembali ke Amerika Serikat Selasa (9/6/2015) besok, penyidik pun bersedia memajukan jadwal pemeriksaan.
“Saya pikir ini demi terlaksananya pemeriksaan dan agar kepentingan beliau juga bisa terwujud,” kata Victor di Markas Besar Polri, Senin (8/6/2015) pagi seperti dilansir CNN.
Selain soal jadwal Sri yang padat, menurut Victor, keberadaan data-data tentang hubungan Kemenkeu dengan penunjukan dan jual-beli kondensat negara antara BP Migas dan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama juga mempengaruhi keputusan memeriksa Sri di kantor Kemenkeu.
“Data-data yang dibutuhkan juga ada di Kemenkeu. Jadi saya pikir tidak ada salahnya beliau diperiksa di Kemenkeu,” ucapnya.
Lebih lanjut Victor mengatakan, materi pemeriksaan Sri seputar surat tentang tata cara pembayaran kondensat yang dikelola BP Migas, yang kemudian diberikan kepada PT TPPI. Untuk sementara, Victor belum menduga adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Sri.
Sri Mulyani tercatat duduk di kursi Menteri Keuangan dalam kurun waktu 2005-2010, saat dugaan tindak korupsi ini terjadi. Posisi tersebut memungkinkannya untuk mengetahui seluk beluk perkara kasus ini.
Dalam kasus ini, polisi menyatakan telah menetapkan tiga orang tersangka, yakni DH, HW dan RP. Sebelumnya, Bareskrim juga sempat melakukan pemeriksaan terhadap bekas Raden Priyono Kepala BP Migas dan Djoko Harsono mantan Deputi Finansial dan Pemasaran BP Migas, Evita Legowo Bekas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM dan yang terakhir adalah Anggito Abimanyu mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF).
Kasus yang menyerat para petinggi Kementerian ESDM ini berawal saat TPPI menjual kondensat bagian negara dari BP Migas, Mei 2009 silam. Hingga Maret 2010, proses penjualan tercatat malah mengakibatkan piutang kurang lebih sebesar US$160 juta atau Rp2 triliun. Proses penjualan yang terus dilanjutkan menyebabkan piutang kala itu pun kian membengkak (cnn/dwi/rst)