Kementerian Luar Negeri menyampaikan informasi dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong bahwa telah ditemukan jenazah seorang wanita warga negara Indonesia (WNI) di suatu jalan di Distrik Mong Kok, Hong Kong.
“Info dari KJRI Hong Kong bahwa telah ditemukan sesosok jenazah wanita pada Senin, (8/6/2015) sekitar pukul 10.45 waktu Hong Kong oleh beberapa pejalan kaki yang melintas di Chang Sha Street, Distrik Mong Kok, Hong Kong,” kata Lalu Muhammad Iqbal Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia di Jakarta, seperti dilansi Antara, Selasa (9/6/2015) malam.
Menurut Iqbal, dari hasil koordinasi intensif antara KJRI dengan pihak Kepolisian Hong Kong dan dilengkapi dengan hasil identifikasi jenazah, korban tewas yang ditemukan di jalan itu adalah seorang WNI berinisial WA berusia 37 tahun yang berstatus “over stayer” di Hong Kong.
“Korban berasal dari Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Malang, Jawa Timur,” ungkap dia.
Dia menyebutkan bahwa KJRI di Hong Kong saat ini sedang melakukan upaya-upaya lanjutan terkait kasus tersebut, termasuk upaya pemulangan jenazah korban ke Indonesia.
Pihak Kementerian Luar Negeri juga sudah berkomunikasi dengan keluarga korban, dan perwakilan dari Kemlu akan segera mendatangi keluarga untuk mengurus surat-surat yang dibutuhkan bagi pemulangan korban.
Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, terkait upaya perlindungan WNI di luar negeri, Pemerintah Indonesia menargetkan percepatan pemulangan (repatriasi) para tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal dan “over stayer”.
“Arahan Pak Jokowi kan (pemulangan) harus dipercepat, karena 50 persen kasus WNI di luar negeri itu terkait TKI ilegal dan over stayer. Daripada bikin masalah, lebih baik mereka cepat dipulangkan lalu dikasih pembekalan,” kata Iqbal.
Sementara BBC melansir, kepolisian Mong Kok mengidentifikasi jenazah berkewarganegaraan Indonesia bernama Wiji Astutik Supardi (37 tahun). Jasad Wiji ditemukan terbungkus ketat dalam gulungan kasur lengkap mengenakan baju, dompet serta perhiasan.
Melalui proses autopsi selama tiga jam, tim dokter menemukan adanya lebam-lebam merah seperti bekas pukulan di pipi kanan, serta di kedua kaki dan tangan jenazah. Mendiang diperkirakan telah meninggal sejak 7 Juni 2015.
Meski demikian tim dokter tidak menemukan adanya bekas penganiayaan seksual ataupun bekas tikaman. Secara fisik, jenazah korban tampak menunjukkan bekas luka di mata sebelah kanan. Namun tim dokter menyatakan ini karena proses pembusukan jenazah dan bukan karena tikaman.
Rafail Walangitan, Kepala Kanselerai Konsulat Jenderal RI di Hong Kong mengatakan ada kecocokan antara data jenazah dengan data WNI bernama bernama Wiji Astutik Supardi.
Penganiayaan
Pada Februari 2015, Wiji pernah melapor ke Kepolisian Mong Kok sebagai korban penganiayaan kekasihnya yang berinisial WF asal Pakistan.
Dalam laporan tersebut, turut disertakan foto Wiji dengan pipi sebelah kiri yang tersayat benda tajam. Namun ibu seorang anak itu kemudian menarik laporannya justru setelah polisi menangkap sang kekasih.
Wiji datang ke Hong Kong sebagai TKI pada 2007. Namun wanita asal Bantur, Malang, ini mengalami masalah ketenagakerjaan dengan majikannya sehingga pada 2008 KJRI tercatat pernah membuatkan SPLP atau surat pengganti paspor yang mengharuskan Wiji pulang ke Indonesia.
Namun Wiji diduga kabur dari KJRI dan mengajukan diri sebagai pengungsi ke Imigrasi Hong Kong. Dengan demikian, Wiji mendapatkan recognition paper sebagai ganti paspor Indonesia.
“Tapi ini masih dalam pendalaman inveistigasi polisi tentang apa yang dia lakukan di Hong Kong selama kurang lebih 7 tahun sebagai pemegang paper,” kata Rafail kepada kontributor BBC Indonesia di Hong Kong.
Secara de jure, para pemegang paper masih berstatus WNI. Namun secara de facto, WNI tersebut kehilangan hak-hak perlindungannya karena imigrasi Hong Kong akan menahan paspor Indonesia-nya. Dengan demikian status kewarganegaraan pemegang paper seperti Wiji mengambang.
“Secara hukum, karena pihak Hong Kong belum mengabulkan permintaannya sebagai pengungsi, KJRI tetap mengurus kasus Wiji dan pemulangan jenazahnya ke Indonesia,” kata Reda Manthovani Konsul Hukum.(ant/bbc/iss/ipg)