Fahri Hamzah Wakil Ketua DPR RI, mengatakan Surat Edaran Kapolri Jendral (Pol) Badrodin Haiti mengenai Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech tidak boleh menjadi hukum baru. Landasan hukum atau regulasi tetap harus mengacu pada UU.
Jika memang hate speech akan dijadikan aturan, maka menurut Fahri, hal itu harus dilakukan dalam cara yang benar atau dengan mengundangkan aturan tersebut.
“Segala bentuk peraturan itu harus dibuat dalam kerangka menyusun regulasi dan surat edaran tidak bisa digunakan untuk menegakan hukum karena hukum harus ditegakkan dengan UU,” ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (6/11/2015).
Tugas lembaga kepolisian menurut Fahri adalah memberikan penerangan kepada masyarakat agar UU yang sudah disahkan dan memiliki kekuatan itu diimplementasikan sehingga masyarakat tidak boleh melakukan tindakan yang bisa menyerat ke pidana. Polisi tidak berhak membuat aturan sendiri untuk menegakan hukum.
“Jadi jelas tidak benar kalau Surat Edaran (SE) dijadikan landasan hukum karena surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum. Apalagi jika ada penangkapan dilakukan berdasarkan surat edaran,” jelasnya.
Pasal pencemaran nama baik ataupun penghinaan, menurutnya, adalah delik aduan dan dalam UU jelas diatur bahwa jika tidak ada pengaduan maka hal tersebut tidak bisa dijadikan delik oleh aparat hukum seperti polisi.
“Pasal menghina atau pencemaran nama baik itu delik aduan, tidak bisa menjadi persoalan kalau tidak ada laporan. Tugas kepolisian itu adalah memastikan UU berlaku sebagaimana seharusnya. Surat edarat itu tidak boleh menjadi semacam peraturan baru, dia hanya menjadi tentang cara untuk menerapkan UU ditengah masyarakat,” tegasnya.
Terlebih menurut Fahri, MK sudah mencabut pasal penghinaan karena dianggap merupakan pasal karet. Fahri enggan menjawab apakah alasan kapolri menerbitkan pasal penghinaan melalui surat edaran tersebut merupakan bentuk cari muka polri terhadap penguasa atau ada alasan lainnya.
“Polisi sebagai aparatur negara, dia tidak boleh bermain di wilayah yang tidak jelas. Kehadiran penegak hukum harusnya memiliki efek membuat sesuatu menjadi jelas, yang hitam ya hitam dan yang putih ya putih. Makanya kalau aturan ini sudah dicabut oleh MK, polisi harusnya menjelaskan pasal itu sudah dihapus,” tegasnya.
Dan jika muncul aspirasi baru untuk menghidupkan pasal ini maka itu harus dilakukan lewat DPR dimana pemerintah atau DPR mengusulkan atau mengajukan peraturan UU baru. “Mungkin polri ingin sekedar mengingatkan masyarakat dengan SE itu, tapi tetap cara mengingatkan harus jelas, jangan sikap polri menjadi tidak terang,” tandasnya.
Sebelumnya ramai diberitakan seorang office boy, sebuah bank di Ponorogo, Jawa Timur Imelda Syahrul, dilaporkan oleh anggota polisi karena memposting meme sindiran untuk anggota polantas.
Sementara Jenderal (Pol) Badrodin Haiti Kepala Polri justru menegaskan bahwa orang-orang yang berkomentar negatif tentang Surat Edaran (SE) Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech tidak memahami surat edaran yang ditekennya pada 8 Oktober 2015.
“Ada orang hukum bilang, SE ini harus dicabut. Dia tidak memahami hal ini. Ada juga yang bilang, SE bisa ngalahin hukum yang berlaku, orang ini juga tidak mengerti hukum,” ujar Badrodin di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Kamis (5/11/2015) lalu.
Badrodin menjelaskan dirinya tidak akan merespons berbagai komentar negatif tersebut secara berlebihan. Dia pun tidak akan mencabut edaran tersebut. Badrodin menganggap komentar-komentar itu sebagai ragam pemikiran pihak lain yang harus dihormati. Ia menganggap surat edaran itu didasari oleh niat yang tulus dan kajian yang benar.
“Intinya sederhana saja. Berdasarkan temuan kasus selama ini, kami ingin anggota Polri mengetahui bentuk-bentuk ujaran kebencian. Sehingga, kalau sudah mengetahui di daerahnya ada seperti itu, bisa mencegah, bukan dibiarkan agar tidak merembet ke tindak pidana,” ujar dia.
Setelah melakukan kajian, Polri menerbitkan SE Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech. SE itu telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia untuk dipedomani.
Pada intinya, ujaran kebencian yang masuk ke obyek SE ini adalah ujaran yang bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat yang dibedakan dari aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, jender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
SE juga memberikan petunjuk bagi personel Polri dalam menangani ujaran kebencian itu agar tidak sampai menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial yang meluas.
Salah satunya adalah personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka personel Polri wajib mengambil tindakan, antara lain, mencari solusi perdamaian antara pihak bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak negatif yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.
Terakhir, jika tindakan preventif sudah dilakukan, tetapi tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan KUHP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.(faz/rst)