Kinerja Kementrian Perekonomian Menteri sebelum dilakukan reshuffle relatif tidak bisa menunjukkan kondisi yang bisa melawan pasar. Saat ini terlihat pasar lebih mendominasi informasi dibandingkan pemerintah.
“Misalnya contoh hari ini rupiah sampai menembus hampir Rp14 ribu ini merupakan ekspektasi pasar,” kata Aviliani Pengamat Ekonomi pada Radio Suara Surabaya.
Ekspektasi pasar, kata dia, bisa dikurangi jika ada kredibilitas pemerintah dalam berbagi kebijakan yang bisa diprediksi oleh pelaku pasar.
Diharapkan dengan Menteri-menteri yang baru hasil reshuffle kabinet ini, kata dia, bisa membuat kembali kepercayaan pasar terutama kepercayaan pemerintah. Sehingga ini juga yang menjadi salah satu yang bisa mengurangi dalam nilai tukar dan ketidakpastian dalam ekonomi.
“Memang PR-nya itu berat untuk Menteri yang sekarang. PR dari Pak Darmin (Menteri Perekonomian yang baru—red) misalnya, dia harus bisa mengendalikan di dalam Kementerian Keuangan terkait target pajak yang terlalu besar. Apabila tidak tercapai maka defisit APBN bisa diatas 3 persen. Ini kan yang agak berbahaya,” kata dia.
Jika defisit APBN di atas 3 persen maka akan membuat kredibilitas pemerintah turun dan akhirnya oblogasi yang dijual pemerintah akan meminta bunga lebih tinggi lagi. Jadi efeknya lebih berpengaruh pada kenaikan suku bunga.
“Jadi tugas Pak Darmin bagaimana mengendalikan Kementrian Keuangan bukan menargetkan pajak tapi kita harus realistis karena pajak itu tidak akan mungkin tercapai. Berarti harus ada pengeluaran yang dikurangi dan efisiensi,” ujar dia.
Jika hal tersebut bisa tergambar di pasar, pasar tentunya dengan bunga murahpun mau. Karena mereka melihat risiko pemerintah ini sangat besar. Itu yang pertama PR-nya,” katanya.
PR yang kedua adalah berkoordinasi dengan Bank Indonesia terkait dengan nilai tukar. Karena tidak bisa serta merta hanya menyalahkan faktor eksternal terkait melemahnya rupiah.
“Kita wajib melakukan kontrol devisa karena sekarang kan kita tidak melakukan kontrol pada devisa kita. Keluar masuknya devisa itu lebih karena Undang-undang dan kita tidak boleh untuk mengintervensi. Padahal negara seperti Amerika saja sekarang melakukan kontrol devisa,” ungkap dia.
Faktro eksternal yang menyebabkan rupiah melemah, lanjut dia, akibat terjadinya krisis di berbagai belahan dunia terutama di Amerika-Eropa. Walaupun negara tersebut sudha membaik namun membaiknya hanya semu atau bukan sebenarnya. Sedangkan China melihat permintaannya turun kemudian mendevaluasi mata uangnya agar ekspornya lebih murah.
Dengan demikian, tantangan terbesar untuk Indonesia adalah kalau harga barang China lebih murah Indonesia tidak bisa berkompetisi.
“Ini yang harus kita cari. Mana yang kita punya daya saingnya lebih tinggi, itu yang akan kita garap,” katanya.
Sebagai contoh, misalnya Indonesia melakukan impor bahan baku baru mencapai 70 persen. Jadi harus ada insentif agar banyak perusahaan yang membangun industri intermediet sehingga Indonesia banyak melakukan impor.
Aviliani menambahkan, yang harus dibenahi di Indonesia diantaranya bagaimana menjaga nilai tukar rupiah. Jika ingin membangun industri hilir waktu yang dibutuhkan masih empat tahun ke depan. Selain itu harus mulai mengurangi impor dengan cara mensubtitusi impor dengan pemberian insentif.
“Sekarang ini struktur ekonomi kita tidak berubah makanya ongkosnya jadi malah,” pungkas dia. (dwi/tok)