Sejak tahun 2014 jumlah perokok di seluruh dunia mengalami penurunan. Namun hal itu tidak terjadi di dua negara Asia yaitu Indonesia dan Tiongkok.
Sri Widati dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya menuturkan fenomena tersebut menunjukkan bahwa regulasi terhadap industri rokok di Indonesia masih longgar.
“Ini karena regulasi terhadap industri rokok di negara-negara lain sudah begitu ketat. Contohnya saja negara-negara seperti Hungaria, Brazil, dan Amerika Serikat itu sudah menerapkan peraturan yang membuat perokok di negara mereka menurun dari tahun ke tahun, ujarnya kepada wartawan, Kamis (9/7/2015).
Menurut dia, salah satu regulasi yang membuat perokok di tiga negara tersebut semakin menurun adalah penerapan cukai yang tinggi.
“Sudah terbukti memang, jika penerapan cukai yang tinggi bisa menurunkan jumlah perokok di sebuah negara. Jika itu diterapkan di Indonesia, maka jumlah perokok disini akan bisa menurun. Sebab, kalangan perokok tertinggi di Indonesia berasal dari masyarakat miskin. Jika cukai dinaikkan, mereka otomatis kesulitan untuk membeli rokok karena harganya akan semakin tinggi,” katanya.
Dirinya mencontohkan, meskipun Tiongkok juga merupakan sebuah negara yang jumlah perokoknya tinggi, namun mereka sudah bergerak dan serius untuk mengatasi hal tersebut.
Menurut Sri Widati, keseriusan itulah yang perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia untuk menurunkan jumlah perokoknya disini.
“Di Shenzhen, salah satu kota di Tiongkok mulai tahun 2010 sampai 2014 menerapkan aturan larangan merokok di tempat publik. Kota ini juga sudah melarang penjualan rokok melalui mesin. Dan ruang publik juga tidak boleh menjual rokok. Selain itu, Setiap rs wajib untuk membantu perokok yang ingin berhenti merokok. Nyatanya, hampir 100 persen warga kota tersebut mendukungnya,” ujarnya.. (dop/wak)