Tujuh spesies katak baru telah ditemukan di tujuh pegunungan berbeda di bagian tenggara Brasil.
Kawasan tersebut beriklim unik. Pada bagian puncak, ketujuh pegunungan itu dikelilingi hutan dengan iklim dingin. Sedangkan di bagian lembah, cuacanya cenderung hangat.
Perbedaaan iklim itu telah menghasilkan 21 spesies katak Brachycephalus yang sudah diketahui dan tujuh spesies baru.
Panjang tubuh ketujuh katak itu berukuran kurang dari 1 cm dan sebagian besar memiliki kulit yang berwarna-warni serta mengandung racun untuk menghindari mereka dari hewan pemangsa.
Spesies yang baru ditemukan itu, yang dilaporkan dalam jurnal terbuka PeerJ, adalah hasil ekspedisi Marcio Pie, profesor Federal University Parana di Kota Curitiba, selama lima tahun ke dalam hutan belantara.
Dia mengaku tidak bisa lagi menghitung jumlah gunung yang didakinya.
“Itu sangat melelahkan. Gunung-gunung itu tidak terlalu tinggi kebanyakan tingginya 1.000 hingga 1.5000 meter namun jalur lintasannya tidak ditandai dengan benar,” katanya kepada BBC.
Hutan-hutan di dataran tinggi Brasil ini adalah tempat subur untuk dijelajahi oleh pakar ekologi, menurut Pie, karena menghasilkan lebih banyak spesies per kilometer persegi dibandingkan hutan Amazon.
Bagi hewan seperti katak Brachycephalus yang sensitif terhadap lingkungannya, pergantian suhu dari pegunungan ke lembah menjadi rintangan. Alhasil setiap populasi di puncak pegunungan pelan-pelan berkembang menjadi spesies yang berbeda-beda.
Untuk mengetahui perbedaan antar spesies, para peneliti harus jeli. Perbedaan paling jelas antara spesies Brachycephalus, termasuk tujuh yang baru, adalah kulit mereka.
Organ itu dapat bervariasi cukup banyak dalam bentuk gelombang dan tingkat kekasarannya serta terdapat pula perbedaan yang cukup besar dalam warna-warna yang lebih terang biasanya menunjukkan racun tetrodotoxin dalam jumlah yang lebih besar.
“Ini adalah pengalaman yang sungguh menarik, karena kami berharap setiap puncak gunung memiliki spesies baru, namun kami tidak tahu tampak mereka. Jadi kita mencoba untuk menebak-nebak rupa spesies yang akan kami temukan,” ujar dia.
Menemukannya, kata Pie, merupakan tantangan terbesar.
“Dibutuhkan banyak latihan dan terkadang itu sangat mengesalkan, mendaki gunung selama berjam-jam dan kembali dengan tangan kosong,” katanya.
Seringkali para peneliti bisa mendengar katak-katak itu sebelum melihat mereka, karena hewan-hewan kecil itu memang susah ditemukan.
“Anda bisa mendengar mereka berbunyi dan tampaknya dalam jumlah ratusan, namun sangat sulit ditangkap! Karena begitu Anda mendekat, mereka merasakan getaran tanah lalu tidak mengeluarkan suara untuk kira-kira 20 atau 30 menit. Lalu anda harus memilah-milah dan mencarinya di tumpukan dedaunan,” kata Pie.
Pie menganalisa bahwa faktor cuaca sangat berpengaruh bagi keberadaan katak-katak tersebut.
“Kehadiran katak ini menunjukkan bahwa kawasan ini berada dalam kondisi cukup stabil selama 500.000 tahun terakhir, dalam hal iklim. Bila berubah menjadi hangat, mungkin lingkungan yang menjadi ciri khas hutan pegunungan akan menghilang dan menyebabkan spesies ini punah. Sedangkan bila menjadi terlalu dingin, mungkin mereka akan bergerak melintasi lembah dan kami akan menemukan mereka di satu lokasi yang sama,” ungkap dia.
Pie dan rekan-rekannya memperingatkan untuk menjaga kelestarian ragam spesies ini mungkin membutuhkan penangkaran serta langkah-langkah perlindungan habitat mereka dari hewan invasif dan penebangan. (bbc/dwi/rst)