Thamrin School of Climate Change and Sustainaibility menilai turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dikuatirkan mengganggu keamanan pasokan energi saat ini dan di masa depan.
Hal tersebut karena ketergantungan yang besar terhadap bahan bakar fossil, khususnya pada BBM untuk bahan bakar transportasi, ketergantungan terhadap impor bahan bakar, kebijakan harga energi serta tatakelola yang baik dalam mengatur semua rantai nilai industri maupun kelembagaan yang mengaturnya.
Sementara itu, depresiasi nilai rupiah atas dollar AS bisa meningkatkan resiko pada penyediaan energi dalam negeri yang dilakukan oleh dua BUMN energi, yaitu Pertamina dan PT PLN karena transaksi menggunakan mata uang dollar.
“Kebutuhan valas dalam bentuk dollar untuk Pertamina dan PLN sangat besar, hitungan saya diperkirakan Pertamina menghabiskan sekitar 60% pendapatannya, atau setara dengan 60 juta dollar, untuk biaya pengadaan minyak mentah, BBM dan LPG untuk memenuhi kebutuhan energi domestik setiap hari,” kata Fabby Tumiwa Reader Thamrin School on Energy dikutip dari rilis Thamrin School, Jumat (20/3/2015) seperti dilansir Antara.
Fabby yang juga Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR)
menambahkan kombinasi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar dan fluktuasi harga minyak dunia telah menyebabkan Pertamina mengalami kerugian.
“Pada bulan Januari 2015 saja kerugian Pertamina telah mencapai 35 juta dollar (setara 420 miliar rupiah) pada Januari 2015. Sekitar 70% dari biaya PLN untuk pengadaan bahan bakar, pembelian listrik swasta (IPP), operasi dan perawatan pembangkit, serta pembayaran imbal obligasi global, dalam dollar,” ungkapnya.
Thamrin School menilai diperlukan upaya-upaya untuk mengendalikan konsumsi dan pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak dan energi listrik, serta diversifikasi energi sebagai solusi dan strategi untuk menghindari jebakan ketergantungan BBM dan nilai tukar rupiah saat ini dan di masa depan.
Oleh karena itu, Thamrin School mendesak pemerintah untuk melakukan kampanye publik untuk medorong terjadinya gerakan hemat BBM dan listrik di seluruh Indonesia, menjaga tingkat harga jual BBM yang berlaku saat ini pada bulan-bulan mendatang walaupun harga minyak mentah dunia mengalami penurunan kembali, dan mempercepat substitusi BBM ke bahan bakar gas sebagaimana yang sudah diwacanakan sejak masa pemerintahan sebelumnya.
Untuk kebijakan jangka menengah-panjang, Thamrin School mendesak agar pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem transportasi publik yang handal, aman dan nyaman untuk mengurangi pertumbuhan konsumsi BBM.
Selain itu, Thamrin School mendesak agar pemerintah menetapkan kebijakan fuel economy standard yang dapat berlaku dalam lima tahun kedepan, memperkenalkan instrumen pajak karbon untuk BBM, dan mendorong pengembangan energi terbarukan yang murah melalui fasilltas alih dan akusisi teknologi dan fasilitas pendanaan yang mudah dan murah untuk membiayai proyek-proyek energi terbarukan.
Sementara itu, Thamrin School mendukung rencana pemerintah untuk meningkatkan kebijakan meningkatkan blending biofuel (BBN) dengan BBM sebanyak 15%, dalam rangka mengurangi impor BBM dan kebutuhan valas (dolar). (ant/dwi/rst)