Tiga nelayan melompat dari perahu yang berhenti perlahan di rangkaian keramba jaring yang mengapung di pesisir Desa Gundil, Kecamatan Kendit, Situbondo. Dengan cekatan, ketiganya lantas mengambil terpal tipis untuk menutup Keramba Jaring Apung (KJA) milik mereka.
Cuaca pada Minggu (13/8/2015) siang, saat tiga nelayan bergegas memang tak bersahabat. Suhu udara di perairan Gundil yang hanya berjarak sekitar 5 Km sebelah timur dari pantai Pasir Putih Situbondo itu terpantau 34 derajat, sebuah suhu yang tentu sangat mengganggu kawanan ikan yang ada di dalam keramba milik mereka.
Di pesisir Gundil, tiga nelayan yang masing-masing bernama Suhail, 45 tahun; Mahdi, 49 tahun; dan Prayitno 51 tahun itu memiliki dua petak KJA yang masing-masing berisi 12 lubang pembibitan dan pembesaran kerapu. Budidaya kerapu memang tak tahan cuaca, jika mentari cukup terik, maka tak ada cara selain memayungi keramba-keramba itu agar suhu air di bawahnya minimal tak ikut panas.
“Merawat kerapu sama seperti bayi, tidak boleh terlalu panas juga dingin,” kata Suhail. Idealnya, memelihara kerapu ada di suhu air laut antara 26-32 derajat celcius.
Meski sulit, namun keramba apung milik ketiga nelayan itu setidaknya telah menghidupi mereka sejak 10 tahun silam. Bahkan, berkat keramba apung itu, ketiganya kini telah mampu mendaftar haji dan akan berangkat ke tanah suci pada tahun 2017 mendatang.
Sementara itu, sejak tahun 2002, nelayan yang ada di pesisir Situbondo memang mulai beralih profesi dari nelayan tangkap ke budidaya. Hasil yang melimpah menjadikan mereka tergiur untuk terus mengembangkan usaha mereka.
Agus Sembodo, Ketua Asosiasi Keramba Jaring Apung Situbondo menuturkan, meski mulai diminati sejak tahun 2002, alih profesi para nelayan terjadi cukup besar di tahun 2007, ketika pemerintah menggelontorkan program bantuan KJA di wilayah Situbono. “Maklum membuat satu set keramba dengan 12 lubang membutuhkan biaya minimal Rp75 juta,” kata Agus, yang kini telah memiliki 15 set KJA ini.
Besarnya biaya membuat KJA, ternyata sebanding dengan pendapatan yang mereka terima. Apalagi, permintaan kerapu hingga saat ini masih cukup besar. Bahkan seluruh hasil dari KJA yang ada di Situbondo-pun belum bisa memenuhi permintaan pasar.
“Saat ini pasar dalam negeri masih kurang, begitu juga pasar luar negeri juga kurangnya banyak. Kita kewalahan,” kata Agus. Dia mencontohkan, penguasaha asal Hongkong bahkan bersedia mengirim kapal kargo langsung ke Situbondo asalkan para nelayan bisa menyediakan kerapu minimal 35 ton perbulan. Padahal, sekali musim panen, mereka hanya mampu menghasilkan tak lebih dari 20 ton perbulan.
Masih minimnya hasil budidaya kerapu dari pesisir Situbondo menjadikan para nelayan di kawasan ini tak bisa langsung menjual ikan hasil budidaya mereka ke pasar internasional. Mereka terpaksa harus menjualnya ke pengepul yang ada di Bali untuk ditampung dengan kerapu dari berbagai daerah yang lantas dikirim ke Hongkong serta ke beberapa negara lainnya.
Meski begitu, soal harga, kerapu memang tak pernah surut. Saat ini harga kerapu yang paling banyak dibudidaya yaitu jenis macan harganya mencapai Rp 135 ribu perkilogram. Bahkan untuk kerapu tikus yang memiliki daging cukup tebal harganya bisa mencapai Rp 350 perkilogram. Dengan harga yang cukup tinggi, tiap bulannya, Agus mengaku mampu menghasilkan pendapatan minimal Rp 500 juta dari hasil KJA miliknya.
Melihat Potensi Kerapu
Potensi kerapu yang cukup menggiurkan membuat pemerintah sejak tahun 2000 terus mendorong para nelayan untuk membudidayakan kerapu dengan metode KJA. Berbagai bantuan KJA juga digelontorkan. Bahkan bagi daerah yang potensial seperti perairan Situbondo, pemerintah sampai memberikan bantuan KJA berbahan High Density Polyethylene yang anti pecah dan anti hantaman gelombang.
Sih Hatin, Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Jawa Timur mengatakan, potensi budidaya ikan kerapu memang sangat luas dan hingga saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. “Di Jatim sebenarnya terus berkembang, saat ini selain Situbondo juga berkembang di Lamongan, Sumenep, Probolinggo, serta Banyuwangi,” kata dia.
Meski begitu, dari target produksi kerapu, selama ini baru terpenuhi sekitar setengahnya saja. Pada tahun 2013 misalnya, dari target 1.300 ton hanya dapat direalisasikan 601 ton. Begitujuga pada tahun 2014 dari target 1.415 ton, ternyata hanya bisa direalisasikan sebanyak 637 ton.
Dari sisi nilai, ekspor kerapu serta ikan budidaya di Jawa Timur sebenarnya terus meningkat. Pada tahun 2013 misalnya, ekspor ikan budidaya dari Jawa Timur mencapai 92.676.744 kilogram dengan nilai mencapai US 185.471.406 dolar. Sedangkan pada 2014 naik menjadi 101.017.651 kilogram dengan nilai mencapai US 269.304.481 dolar.
Tidak hanya pasar internasional, pasar lokal juga masih cukup bagus. Bahkan para pemasok restoran juga harus mengantre di sentra-sentra kerapu.
Selain meningkatkan jumlah petambak kerapu, pemerintah juga terus berusaha untuk meningkatkan daya tahan kerapu serta mencarikan bibit yang lebih cepat panen dan dengan ukuran lebih besar. Berbagai kawin silang antar kerapu juga terus dilakukan.
Saat ini, Jawa Timur setidaknya telah berhasil mengembangkan kerapu cantang yang merupakan hasil perkawinan dari kerapu macan dan kertang. Selain itu juga berhasil membudidayakan kerapu cantik yang merupakan hasil kawin silang antara kerapu macan dan kerapu tikus.
Jadi Rujukan Dunia
Muhammad Arif, Pengajar Ilmu Budidaya Perairan dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, perikanan budidaya di Indonesia kini telah menjadi rujukan dunia. Temuan dan penerapan teknologi baru dalam peningkatan produksi terbukti menjadi magnet bagi dunia internasional untuk belajar ke Indonesia.
“Mulai dari teknologi, meski masih sederhana, hingga pemberdayaan masyarakat nelayanan di Indonesia sangat lumayan. Banyak negara ke sini untuk belajar,” kata Arif.
Di tingkat Asia Tenggara, misalnya, belasan pembudidaya asal Kamboja saat ini sedang kursus perikanan budidaya di Indonesia. Selain itu dari beragam negara lintas benua diantaranya dari Madagaskar, India, Tanzania, Sudan, bahkan hingga negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Oman dan Iran juga belajar di Indonesia.
Sementara di kawasan Asia Pasifik, saat ini Indonesia menjadi rujukan utama budidaya air laut. “Mereka banyak belajar ke Indonesia khususnya untuk ikan kerapu. Kerapu di Indonesia termasuk yang paling maju. Yang berhasil membenihkan kerapu masal yang pertama ada di Indonesia. Di Situbondo, tahun 1996, pertama berhasil. Sekarang negara-negara Asia Pasifik belajar kerapu ke Indonesia. Kita termasuk yang pertama berhasil melakukan hibrid, mengawinkan kerapu jenis satu dengan yang lain,” kata dia.
Kerapu yang telah berhasil dikawin silang di Indonesia diantaranya adalah kerapu cantik yang merupakan hasil kawin silang antara kerapu macan dan tikus; serta kerapu cantang yang merupakan hasil kawin silang antara kerapu macan dan kertang. Dua kerapu hasil kawin silang ini dinilai mampu memangkas lama budidaya dari 12-16 bulan menjadi 8-10 bulan sudah panen. Selain itu, kerapu hasil kawin silang ini terbukti juga tahan cuaca dan angin.
“Peran pemerintah memang cukup besar, saya melihat selain program pemberian jaring apung, pemerintah juga konsisten untuk menyediakan bibit berkualitas mulai dari ukuran kecil dan menengah, semua disediakan pemerintah,” ujarnya.
Sayang beragam keberhasilan ini kurang tersosialisasi dengan baik sehingga belum banyak nelayan yang berani beralih profesi untuk menjadi pembudidayan ikan. Padahal, selain kerapu, potensi ikan budidaya air laut dari Indonesia sebenarnya juga cukup menjanjikan karena Indonesia sudah sangat dikenal kualitasnya sehingga tidak akan pernah kehilangan pasarnya.
Budidaya air payau seperti bandeng, serta budidaya ikan air tawar mulai ikan mas, nila, lele dan patin ternyata juga menjadi rujukan utama dunia. Arif berharap, Indonesia yang menjadi rujukan budidaya perairan ini mampu dimanfaatkan dengan baik sehingga peluang yang ada tidak terbuang begitu saja. (fik)