Sabtu, 23 November 2024

Mengudar Sejarah Tradisi Layangan Di Indonesia

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan
Anak-anak ikut menerbangkan layang-layang di Festival Layang-Layang Surabaya 2015. Foto: Abidin suarasurabaya.net

Belum ada catatan resmi, kapan dan dari mana sejarah layang-layang di Indonesia dimulai. Tapi, ada semacam jejak bagaimana tradisi layangan muncul dari berbagai daerah di Tanah Air.

Endang Ernawati pendiri Museum Layang-layang Indonesia mengatakan, pihaknya pernah menelusuri tapi belum membuahkan hasil.

Pada tahun 1995, dia mulai dengan membuat buku. Dia sampai mengirim surat tembusan ke seluruh 27 provinsi kala itu, untuk menanyakan sejarah layang-layang.

“Saya kirim surat, yang balik hanya 5 Provinsi. Diantaranya, Sulawesi Tenggara, Bali, Sumatera Barat, Palembang dan Jawa Barat,” katanya kepada suarasurabaya.net Minggu (13/9/2015).

Ada beberapa alasan kenapa provinsi tidak mengirimkan balasan. Diantaranya dari Irian yang menyatakan tidak ada budaya layangan karena pegunungan dan hutan. Lalu, Nusa Tenggara Timur, tidak ada layangan karena daerah gersang.

“Tapi, saya tidak menyerah. Akhirnya pada 2004 saya berhasil buat buku tentang serpihan sejarah itu,” katanya.

Endang mengaku, selama ini di Indonesia memang tidak ada referensi tentang layang-layang. Menurutnya, karena sejak dulu budaya Indonesia bukan budaya menulis, tapi bercerita.

“China dan Jepang itu memiliki budaya menulis dan melukis. Di kita hanya budaya cerita yang kental,” katanya.

Endang memetakan, sejarah tradisi layang-layang di Indonesia yang kental muncul dari tiga daerah yakni Sulawesi Tenggara, Jawa, dan Bali.

Layangan, kata Endang, erat kaitannya dengan budaya setempat. Di Jawa dan Bali misalnya, menerbangkan layangan merupakan sebagai bentuk berterimakasih pada Sang Pencipta.

“Di Bali bahkan ada dewa layangan. Di Jawa dan Sumatera sama, layangan dilakukan setelah panen raya sebagai bentuk syukur,” katanya.

Di Bali, kata Endang, menerbangkan layang-layang yang indah memiliki tujuan agar bidadari turun untuk menyuburkan tanah.

“Makanya ada istilah Lare Angon di Jawa dan Rare Angon (penggembala) di Bali. Merekalah yang menerbangkan layangan di ladang,” katanya.

Tidak hanya itu, di Jawa dan Bali ada ritual khusus saat menebang pohon bambu sebagai bahan layang-layang. Bambu terbaik adalah bambu dengan usia ganjil yakni 7 bulan dan 9 bulan.

“Tapi, di Jawa tradisi ini memudar. Sementara di Bali tetap lestari,” katanya.

Memudarnya tradisi ini di Jawa, karena terlalu banyak budaya masuk ke tanah jawa setelah kerajaan Majapahit runtuh. “Di Jawa karena juga sudah masuk Agama Islam maka tradisi itu luntur dan tidak ada regenerasi,” katanya.

Sementara di Bali, kata Endang, masih lestari hingga sekarang karena agama Hindu yang merupakan agama kerajaan dulu, masih berjaya.

Makna dari layang-layang sebenarnya adalah pengirim pesan. Layang, kata Endang bermakna surat. Sehingga layangan bisa diartikan pembawa pesan. “Makanya berwarna-warni,” katanya.

Endang mengatakan, dia dan komunitas layang-layang saat ini berusaha mempertahankan tradisi layangan ini. Setidaknya, data yang terkumpul, ada 45 jenis bentuk layangan tradisional di Indonesia.

“Di Jawa paling banyak jenis bentuk layangan. Untuk warnanya dari masing-masing daerah juga berbeda-beda,” katanya. (din/dop/dwi)

Teks Foto:
– Salah satu Pelayang ikut terbang di angkasa saat menerbangkan layang-layang naga.
Foto: Abidin suarasurabaya.net

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs