Marwan Jafar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyatakan, sangat memahami aspirasi masyarakat dan aparat desa terkait revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Desa.
Hal itu tidak mengganggu prioritas Nawa Cita Pemerintah dalam meningkatkan kinerja, memajukan dan memandirikan perdesaan.
“Setiap ke daerah, aspirasi itu (revisi PP 43) selalu dihembuskan dan saya selalu mendukung meski harus berkoordinasi dengan kementerian lain. Saat ini revisi sedang dalam proses sinkronisasi dan jika tidak ada halangan akan rampung dalam waktu dekat ini. Jadi mohon bersabar,” ujar Marwan disela kunjungannya ke Kediri, Jawa Timur, Selasa (26/5/2015).
Dia menginformasikan bahwa saat ini revisi PP 43 tahun 2014 sudah berada di Sekretariat Negara (Sekneg). Berarti hanya kisaran 10 persen saja bahwa dipastikan terjadi perubahan PP. Dan diingatkan juga, kata Marwan, terkait PP tersebut bahwa kementerian desa hanya sebatas menerima aspirasi keresahan dan membantu mencarikan solusi.
“Ini menyangkut lintas kementerian. Karena aspirasi tentang apapun yang berkaitan masalah perdesaan yang disampaikan ke saya sebagai menteri desa, maka akan diperjuangkan,” kata Dia.
Ketentuan yang direvisi di PP 43 tahun 2014 itu, lanjut Marwan, misalnya pada pasal 81 tentang penghasilan pemerintah desa, kemudian pasal 100 yang membahas tentang belanja desa dan juga istilah tanah bengkok.
“Juga beberapa pasal soal perencanaan dan pengembangan kawasan perdesaan. Karena, Kepala desa khawatir jika penghasilannya akan jauh menurun karena aturan tersebut,” ujarnya.
“Penghapusan sistem tanah bengkok yang diganti dengan penghasilan mendapatkan protes dari banyak asosiasi kepala desa. Saya sepakat tanah bengkok dikelola seperti sebelum-sebelumnya, dan juga perlu ada ketentuan bagi desa yang tidak memiliki tanah bengkok, ”papar Marwan.
Perlu diketahui, istilah tanah dalam sistem agraria di Pulau Jawa adalah lahan garapan milik desa. Tanah bengkok tidak dapat diperjualbelikan tanpa persetujuan seluruh warga desa, namun boleh disewakan oleh yang diberi hak mengelolanya.
Pengunaannya, tanah bengkok dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama tanah lungguh yang menjadi hak pamong desa untuk menggarapnya sebagai kompensasi gaji yang tidak diterima. Kemudian tanah kas desa yang dikelola oleh pamong desa aktif untuk mendanai pembangunan infrastruktur atau keperluan desa. Dan istilah tanah pengarem-arem, menjadi hak pamong desa yang pensiun untuk digarap sebagai jaminan hari tua. Apabila meninggal tanah ini dikembalikan pengelolaanya kepada pihak desa.
Selain memperhatikan soal Tanah Bengkok, Marwan juga menerima aspirasi keberadaan desa adat, karena selama ini kerap disingkirkan oleh kepentingan industri. Padahal, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014, desa adat sudah diakui hak-hak kesatuan masyarakat adat, termasuk hak mengurus dirinya sendiri.
“Desa adat harus dilindungi dan disejahterakan masyarakatnya. Pemerintah pusat dan daerah, harus lebih bijaksana dalam memberikan izin-izin kegiatan industri yang bersinggungan dengan wilayah desa adat,” tandasnya.
Dikatakannya lagi kalau penetapan desa adat perlu dimasukkan dalam revisi. Jika keberadàan desa adat akhirnya terganggu oleh maraknya industri yang memangkas tanah tinggalnya, maka kecenderungan kemiskinan di perdesaan akan semakin tinggi.
“Perlu dipertegas. Saya mendukung semua aspirasi masyarakat dan aparat desa yang beroriontasi pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan desa agar bisa lebih baik dari sebelumnya,” pungkasnya.(faz/iss/ipg)