Para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) sedang membahas fatwa tentang pengeras suara masjid dan pemutaran kaset mengaji setelah Wapres Jusuf Kalla menyatakan praktik itu mengganggu.
Masalah itu semula tidak masuk dalam agenda pertemuan Komisi Fatwa MUI di Tegal, Jawa Tengah yang berlangsung mulai Senin (8/6/2015) hingga Rabu (10/6/2015).
Namun pemutaran kaset mengaji yang disiarkan dengan volume keras dari masjid dan surau akhirnya dibahas para ulama atas permintaan Jusuf Kalla yang juga menjadi Ketua Dewan Masjid Indonesia, lansir BBC.
“Sekarang sedang dibahas. Semula tidak masuk agenda tapi karena ada permintaan, maka dibahas. Jadi apa keputusannya, sebaiknya kita tunggu besok penutupannya,” kata Prof.Dr. Din Syamsuddin Ketua MUI.
Ketika didesak tentang sikapnya terhadap pemutaran kaset mengaji, Din Syamsuddin enggan memberikan jawaban tegas.
“Menunggu keputusan organisasi karena itu pro-kontra. Ada yang setuju ada yang tidak setuju, maka biarlah para ulama yang sedang bersidang di Tegal yang akan menentukan.”
Kemajuan teknologi
KH Masdar Farid Masudi Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia sependapat dengan Jusuf Kalla. Menurutnya, pengajian kaset dan azan yang diputar dengan volume tinggi mendesak diatur.
“Agama-agama pada umumnya tidak melakukan hal yang sama. Misalnya, gereja memakai lonceng dan itu lebih lokal di sekitarnya saja.
“Kalau ada Quran dibaca memang penting, bagus dibaca tapi biarlah itu dilakukan oleh yang bersangkutan saja untuk memperdalam, penghayatan bagi dirinya,” tuturnya.
Adapun azan, pemberitahuan tentang datangnya waktu salat, dapat dilakukan tanpa harus menggunakan pengeras suara dengan volume tinggi tetapi memanfaatkan kemajuan teknologi.
“Sementara secara teknologi sekarang semua orang sudah punya alat seperti HP untuk membangunkan diri sendiri baik dengan suara azan maupun dengan suara lain,” kata Masdar Farid Masudi, yang juga menjadi salah satu pimpinan PBNU, kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Penggunaan pengeras suara dengan volume tinggi di masjid-masjid telah lama menjadi perdebatan hangat dan sensitif di Indonesia.
Suara lantang
Sejauh ini belum ada larangan, hanya imbauan dari Dewan Masjid Indonesia dan beberapa tokoh, termasuk Boediono Wakil Presiden pada 2012, untuk menurunkan suara. Sementara kelompok-kelompok konservatif menentang penurunan volume.
Pada praktiknya, seperti dikatakan oleh Jusuf Kalla Wakil Presiden, belakangan masjid-masjid seakan berlomba padahal jarak antara satu masjid dengan masjid lain tidak seberapa jauh.
Suara lantang dari masjid pernah diperkarakan lewat jalur hukum oleh seorang warga di Banda Aceh yang merasa terganggu dengan suara rekaman pembacaan Quran yang berlarut-larut.
Ia dipaksa menarik tuntutannya tetapi merasa memenangkan separuh tuntutan karena, menurutnya, volume pengeras dari masjid itu akhirnya diturunkan.
Pada 2010, seorang warga negara Amerika Serikat dijatuhi hukuman lima bulan penjara di Lombok, Nusa Tenggara Barat, karena dinyatakan bersalah mencabut pengeras suara ketika warga setempat sedang mengaji.(bbc/iss)