Adhi Permana Ketua Umum DPP Laskar Ahlussunnah Wal Jamaah menyambut gembira atas keputusan Munas Alim Ulama di Jakarta tanggal 15 Juni 2015 lalu.
Keputusan itu terkait pemilihan Ro`is `Aam pada Muktamar NU ke 33 di Jombang pada tanggal 1-5 Agustus 2015 mendatang akan menggunakan sistem Musyawarah Mufakat dengan pendekatan konsep Ahlul Halli wal Aqdi.
“Laskar Aswaja yakin keputusan ini telah melalui proses panjang pemikiran, dialog, perenungan dan pertimbangan sampai pada tahap memilih mana yang lebih sedikit mudharatnya dan lebih banyak maslahatnya bagi Nahdlatul Ulama dan masa depannya, khususnya dalam upaya menempatkan ulama pada martabatnya yang terhormat sebagai pewaris para Nabi (al-ulama waratsatul anbiya),”ujar Adhi di Jakarta, Minggu (28/6/2015).
Rais Aam, kata Adhi, tidak hanya bermakna pucuk pimpinan dalam struktur organisasi NU, tetapi juga merupakan simbol pemimpin panutan umat (al-ulama qadatul ummat), karena itu figur Rais Aam haruslah pribadi yang wara, zuhud, bersikap adil, alim atau berilmu memiliki wawasan keagamaan yang luas, memiliki integritas moral, tawaddlu, berpengaruh, dan memiliki kemampuan memimpin.
Untuk menghasilkan figur Rais Aam yang memenuhi atau mendekati kriteria mulia diatas, menurut Adhi, para pemilih haruslah orang-orang yang memiliki pengetahuan, kejujuran dan kearifan, serta keteguhan dalam bersikap.
Dalam konteks ini harus diakui bahwa tidak semua orang memenuhi syarat menjadi pemilih dengan karakteristik luhur tersebut, sehingga apabila pemilihan dilakukan secara langsung maka dikhawatirkan hasil pilihannya bukanlah figur Rais Aam seperti yang diharapkan.
Untuk itu sebagai solusinya adalah dengan menerapkan sistem perwakilan, dimana sekelompok orang yang memenuhi syarat diatas merepresentasikan aspirasi umat, memilih figur Rais Aam secara Musyawarah Mufakat.
Sistem pemilihan yang dalam ajaran fikih ahlussunnah wal jamaah dinamakan Ahlul Halli wal Aqdi ini bukanlah konsep baru dalam tradisi Nahdlatul Ulama.
Konsep ini justru telah dikenal dan diamalkan oleh para ulama pendiri NU sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 1952 ketika NU menjadi partai politik, dan kemudian diterapkan lagi pada Muktamar NU ke 27 di Situbondo ketika menetapkan kembali ke Khittah 1926 sekaligus menetapkan KH. Ali Maksum dan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Rais Aam dan Ketua Umum PBNU.
Adhi menegaskan, dengan fakta historis ini, Laskar Aswaja menolak keras pandangan yang menyatakan bahwa sistem pemilihan Musyawarah Mufakat dengan pendekatan konsep Ahlul Halli wal Aqdi adalah tidak demokratis atau suatu kemunduran.
Setiap zaman membutuhkan jalannya sendiri untuk mampu bertahan dan berkembang maju. Dinamika NU saat ini membutuhkan adanya keberanian untuk tidak hanya mengikuti arus, tetapi menentukan pilihan sendiri yang dirasakan lebih maslahat bagi kehidupan dan masa depan NU sebagai jamiyyah diniyyah ijtimaiyyah.
Apalagi saat ini NU dengan ajaran Islam Rahmatan lil Alamin semakin diterima dan dipercaya dunia internasional bahkan dijadikan model keberagamaan yang mampu menjamin terciptanya hubungan antar-pemeluk agama yang toleran dan saling menghargai.
“Sekali lagi kami tegaskan bahwa kami sangat mendukung keputusan untuk menerapkan konsep Ahlul Halli wal Aqdi dengan prinsip Syuro (musyawarah mufakat), bahwa konsep ini adalah bagian dari Khittah NU 1926, dan penerapannya adalah langkah nyata dalam menuntaskan pelaksanaan keputusan Khittah NU 1926,” pungkas Adhi.(faz/dwi)