Pembukaan pasar bebas Asean tinggal menghitung hari. Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tidak hanya menjadi tantangan bagi pelaku ekonomi, tapi juga pelaku kesenian Jawa Timur.
Seniman lokal Jawa Timur akan menghadapi tantangan masuknya seniman negara lain yang mungkin akan menggelar pertunjukan yang lebih menarik, serta memiliki nilai jual yang lebih besar.
Apabila seniman lokal belum bisa memperkuat pasar lokal di Jawa Timur, bisa diprediksi pelaku seni Jatim akan semakin terpuruk, tertinggal, dan makin lama akan tenggelam.
Taufik Hidayat atau biasa dipanggil Taufik Monyong Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) mengatakan, ekspansi kesenian Jatim ke luar negeri harus dimulai dari penguatan pasar lokal.
“Kalau belum bisa ekspansi ke daerah lain, bagaimana bisa ekspansi ke luar negeri. Padahal pasar MEA ini memungkinkan kawan-kawan (seniman,red) menjual produk keseniannya ke luar negeri,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Senin (28/12/2015).
Mula-mula adalah kesadaran. Menurut Monyong, seniman harus memahami dan menguasai kesenian di daerah masing-masing agar bisa memunculkan potensi lokal di pasar bebas.
“Seniman harus punya kesadaran etno atau etnik masing-masing daerahnya. Karena kesenian tradisi Jawa Timur ini tidak dimiliki negara lain,” katanya.
Misalnya seni teater. Monyong mencontohkan, teater modern di eropa dengan di Indonesia sama. Sementara yang tidak dimiliki oleh negara lain adalah teaer tradisional Jatim.
“Di Jatim ada ludruk, lerok, dan besut. Ini tidak ada di negara lain. Seni tradisi Jatim seperti inilah yang nanti bisa dijual ke pasar bebas,” ujarnya.
Namun, kualitas kesenian harus tetap terjaga. Seniman, kata Taufik, harus menjaga kualitas berkeseniannya dengan memperkaya penguasaan teknik dan manajemen pertunjukan.
Peran pemerintah melalui pembinaan dan pembekalan pengetahuan teknis bagi para seniman dalam hal ini sangat menentukan.
“Harus ada kajian strategis, bagaimana memenej pertunjukan seni agar lebih efektif dan efisien. Tapi yang lebih mendesak, pemanfaatan media komunikasi untuk promosi,” ujarnya.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi (Disbudpar) Jatim, menurut Monyong, harus mengoptimalkan media komunikasi yang sudah ada. Salah satunya, media promosi website eastjava.com.
“Pendataan yang sifatnya teknis produksi hingga kesenian komunal harus ada di dalamnya. Misalnya jumlah seniman di kabupaten/kota, jumlah sanggar yang ada, tingkat pertunjukannya, juga destinasi mana saja yang bisa dikunjungi,” kata Monyong.
Monyong juga berharap pemerintah melalui Disbudpar sudah menjadwal event kesenian yang ada di Jatim mulai yang terbesar sampai yang terkecil.
“Harusnya ada schedule of event selama setahun, semua kegiatan seni besar sampai kecil sudah terjadwal. Dengan begitu, promosi akan lebih mudah,” katanya.
Sebab menurutnya, selama ini pemerintah hanya melakukan promosi kegiatan seni yang bersifat tentatif. “Setiap kali ada even baru dikabarkan,” ujarnya.
Integrasi dengan Objek Wisata
Pelaku seni di Jatim, khususnya di Surabaya akan terintegrasi dengan objek wisata. Dengan demikian, ada simbiosis mutualisme antara pelaku dan pengelola wisata dalam hal promosi kebudayaan Jatim.
Irpan Harianja, Ketua Forum Komunikasi Pengelola Objek Wisata Surabaya mengatakan, nantinya akan diadakan event-event di objek wisata Surabaya yang melibatkan seniman lokal.
“Selama ini ada, tapi tidak secara kontinu,” ujar Irpan, Senin. Dia berharap seniman seperti pelaku ludruk, remo dan seni lain di Jatim, bisa mengadakan pagelaran seni secara berkesinambungan, tidak lagi insidentil.
Tujuannya, agar kesenian dan budaya itu tidak mati. Karena setiap orang yang pergi ke berbagai destinasi wisata, khususnya di Surabaya tidak hanya mendapatkan apa yang dimiliki oleh objek wisata itu saja.
“Kami berharap, orang yang datang juga bisa mendapatkan suguhan budaya lokal berupa kesenian-kesenian tradisional ini. Supaya tetap eksis,” katanya.
Di masa yang akan datang, bila seniman dan destinasi wisata sudah terintegrasi, akan ada berbagai event yang diselenggarakan. Promosi wisata pun secara otomatis menjadi ladang promosi budaya tradisional Jatim.
“Kalau sudah terintegrasi, nanti secara bertahap kita bikin berbagai festival. Misalnya Festival Kalimas dan sebagainya, meskipun sudah ada program-program dari Dinas Kebudayaan,” katanya. (den/iss/ipg)