“Ngalor ngidul liwat toko ngumbah moto. Masio mung senggal senggol ati lego.” Begitulah lirik lagu Rek Ayo Rek ciptaan Is Haryanto.
Suasana Jalan Tunjungan Surabaya di masa lalu tergambarkan di dalam lirik lagu rakyat tersebut. Namun, Jalan Tunjungan dulu sangat berbeda dengan Jalan Tunjungan masa kini.
Di Jalan Tunjungan sekarang, sudah tidak ada warga Surabaya yang mau berjalan-jalan melewati toko-toko, hanya sekadar untuk cuci mata, seperti dalam lirik “Ngalor ngidul liwat toko ngumbah moto“.
Juga tak ada lagi “masio mung senggal senggol ati lego” (meski hanya bersenggolan tapi hati lega). Karena tidak hanya banyak toko yang tutup, tapi juga ada bangunan-bangunan mangkrak yang kurang enak dipandang.
Komunitas Rek Ayo Rek Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan (RMT) punya rekomendasi bagi Pemkot Surabaya agar Jalan Tunjungan, sebagai identitas Kota Surabaya, tidak semakin terpuruk.
Apalagi, Surabaya akan kedatangan tamu dari 167 negara pada Juli 2016 nanti, dalam acara Preparatory Committee (PrepCom) for Habitat III atau rapat persiapan Konferensi Habitat III.
“Karena itulah, kami ingin membangun kembali roso atau sosio development, jati diri kita sebagai warga kota, yang kita rasakan hilang. Kami ingin rekomendasikan agar Tunjungan jadi etalasenya Surabaya,” ujar Memet Ketua Komunitas RMT kepada suarasurabaya.net di Museum Surabaya, Minggu (13/12/2015).
Mengenai fisik bangunan di Jalan Tunjungan, Komunitas RMT telah mempersiapkan sebuah konsep. Terutama bagaimana cara menutupi hal-hal yang kurang bagus dilihat.
“Misalnya bangunan di depan itu (Hotel Aston Tunjungan,red) yang mangkrak, opo arepe diterusno? Kalau enggak, kita sudah mulai punya konsep dengan menggandeng para seniman, untuk menjadikannya seni instalasi,” ujarnya.
Seni instalasi seperti apa? Memet berkata, “Sarungi ae gedung sing duwur iku.” Memet juga mengatakan, seperti halnya gedung crystal palace, yang sudah mangkrak selama 20 tahun.
“Nah, apakah nanti itu layak menjadi suguhan? Yang bergerak adalah kalangan seniman,” ujarnya.
Bangunan mangkrak lain yang akan disiasati agar Jalan Tunjungan menjadi lebih enak dipandang, yaitu yang ada di samping hotel majapahit.
“Yang sekarang ditutupi seng itu ya. Kalau bisa kita manipulasi dikit lah, supaya, ojo ngono lah, ketok-ketok nemen ngono,” katanya.
Memet mengaku punya gagasan bersama mahasiswa dan alumnus ITS untuk menampilkan gambar memorial gedung tersebut, seolah masih ada.
“Anak-anak itu kan biasanya menggambar di kertas atau pakai rendering, coba wujudkan dengan skala 1×1. Kita tmpilkan lagi bangunan itu seolah masih ada,” ujarnya.
Tidak cukup sampai di sana, Memet akan mengusulkan agar ada apresiasi bagi tokoh-tokoh legendaris Surabaya yang mulai dilupakan oleh masyarakat Surabaya.
Beberapa di antaranya, musisi seperti Mus Mulyadi, Dara Puspita. “Ahmad Dhani mungkin bisa,” kata Memet.
“Sementara tokoh Budayawan, ada Markesot, ada lagi Cak Durasim. Juga ada W.R Supratman, Bung Karno, Bung Tomo, coba kita bikinkan tetenger (penanda),” ujarnya.
Bentuknya, kata Memet, bisa berupa prasasti atau seperti walk of fame di Hollywood.
“Tapi kita sesuaikan dengan budaya ketimuran ya, masak penghargaan kok diincak-incak, mungkin kita tempatkan di pilar-pilar,” katanya.
Sekaligus, Komunitas RMT akan mengusulkan, Pemkot Surabaya kembali membuatkan over deck, sebagaimana yang diusulkan oleh Sugeng Gunadi, Akademisi dan Pemerhati Arsitektur Surabaya.
“Meski dari Belanda, tapi desain itu adalah desain arsitektur yang menyapa alam. Supaya warga yang jalan-jalan enggak kepanasan atau kehujanan,” katanya.
Upaya-upaya tersebut, kata Memet, akan mendasari citra arsitektur Jalan Tunjungan, sehingga nama tunjungan yang sudah mendunia lebih greget dikenalkan ke tamu-tamu dari negara lain. (den/dop)